Ustadz Tanjung begitu sapaan akrab Ketua Yayasan Dinamika Umat (YDU), Dr H. Hasan Basri Tanjung MA. Pria ini lahir di Patihe, Desa Sampean, Kecamatan Sei Kanan, Labuhan Batu (sekarang Labuhan Batu Selatan), Sumatera Utara pada 12 Mei 1970 silam. Patihe, sebuah kampung di pedalaman dikelilingi kebun karet yang sangat luas. Kampung kecil di atas bukit tersebut diapit dua sungai, Aek Situnduk dan Aek Patihe.
Dengan kontur berbukit membawa kebiasaan mandi tersendiri bagi masyarakat Patihe, termasuk Ustaz Tanjung di masa kecilnya. Setiap akan mandi, warga setempat harus turun sekitar 500 meter ke sungai kecil. Untungnya sungai ini jernih, dingin nan menyegarkan.
Meskipun Patihe bersebelahan dengan Simpang Maropat, desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (sekarang Padang Lawas Utara), desa ini masih sangat terpencil. Saking terpencilnya, mobil baru bisa masuk ke Patihe setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Itupun melalui jalan mendaki dan menurun yang sangat curam. Ketika hujan turun, jalanan menjadi sangat licin, sehingga tidak bisa dilalui sampai tanah benar benar kering.
“Alhamdulillah, sekitar 10 tahun lalu jalan sudah diaspal, sehingga lalu lintas semakin ramai dan lancar serta menjadi jalan antar lintas kabupaten,” tutur Ustaz Tanjung, membuka pembicaraan dengan PUBLIKASI.
Keterisoliran Desa Pahite, semakin terbuka, setelah Perusahaan Listrik Negara atau PLN menerangi desa berpenghuni sekitar 40 kepala rumah tangga tersebut. Suasana kampung yang dikelilingi pohon karet sejauh mata memandang, semakin teduh dengan kehidupan masyarakatnya yang religius.
Suasana desa yang tentram ini, memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan jati diri Ustadz Tanjung ini kelak dalam perjalanan hidupnya kemudian.
Ketika duduk dibangku sekolah dasar (SD), ia bersama saudaranya kerap menginap di homa (ladang) yang berada di tengah hutan. Kebiasaan ini dilakoni sejak padi mulai tumbuh hingga selesai musim panen.
Ayahanda Berpulang
Sejak kecil, Ustadz Tanjung, dididik keras dan tegas oleh Ayahandanya, alm. Tongku Amalan Tanjung, terutama dalam membaca al-Quran. Pukulan rotan, sentilan, dan bentakan keras menjadi hal biasa untuk membenarkan bacaan. Namun, ketika memasuki usia delapan tahun (kelas 3 SD), ayahanda tercintanya wafat karena mengidap penyakit paru-paru akut.
Karenanya, tidak banyak kenangan yang dialami anak ketujuh dari tujuh bersaudara ini (dari yang tertua; Kak Dalina Tanjung, alm. Abang Biun Tanjung, alm. Abang M. Adnan Tanjung, almh. Kak Masnah Tanjung, Kak Lamsari Tanjung, Bang H. Ismail Tanjung), bersama sang ayah. Seingatnya, selain sosok pendiam, ayahandanya adalah panutan yang tekun dalam bekerja dan beribadah.
Sepeningggal ayahanda yang dihormati, Ustadz Tanjung dibesarkan oleh bunda seorang, almh. Mak Zahara Siregar, seorang periang dan tangguh dalam bekerja. Hingga kini, tiga orang saudaranya sudah mendahului ke Haribaan Ilahi, dua orang kakak perempuan masih di kampung dan satu Abangandanya bernama Ismail Tanjung tinggal bersamanya di Bogor, Jawa Barat.
Masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1977 di SDN Marsonja yang berjarak sekitar 4-5 kilometer dari Desa Patihe. Jarak sejauh ini ditempuh berjalan kaki sekitar satu jam. Melihat jarak yang sangat jauh untuk anak-anak sekolah dasar, seorang tokoh masyarakat setempat berinisiatif membangun sekolah swasta di Patihe.
Hingga akhirnya, saat kenaikan kelas empat, Ustadz Tanjung bersama teman sekampungnya pun pindah ke sekolah yang “ala kadarnya” ini. Berlantai tanah, bangku kayu panjang dan dididik seorang guru swasta. Jam masuk sekolah pun baru dimulai sekitar pukul sembilan. Sebab, sebelumnya Pak Guru harus terlebih dulu menderes karet sebagai cara memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menjelang naik kelas enam, Pemerintah mulai membangun Sekolah Inpres dengan tiga orang guru baru. “Alhamdulillah, sampai hari ini, salah satu guru tersebut masih hidup, Pak Ngatiyo di Labusel,” kenangnya.
Ketika pulang kampung tahun 2018 lalu, Ustadz Tanjung menyempatkan bersilaturrahim ke rumah guru SDnya itu di daerah Kota Pinang. Kedatangannya tentu disambut haru dan sangat bangga dikunjungi salah seorang muridnya yang datang dari perantauan, Bogor.
Mak dan Bang Ismail
Selulus SD, Ustadz Tanjung, ikut dengan alm. Abangdanya, Adnan Tanjung, ke si Pare-Pare Tengah, Kecamatan Merbau, Labuhan Batu Utara (Labura) untuk melanjutkan sekolah di MTs Al-Washliyah, tahun 1984-1987. Sementara, Abangandanya, Ismail yang saat itu sama-sama lulus SD, mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah demi membantu biaya sekolahnya.
Sejak sekolah di MTs itu, kesempatan pulang kampung hanya bisa pada saat libur semester. Sementara saat libur sekolah akhir pekan, ia ikut membantu Bang Adnan menderes atau ke sawah. Jasa bangandanya ini tak akan pernah terbalas jasanya. Walau keadaan ekonomi Bang Adnan sangat terbatas, ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Selulus MTs, ia melanjutkan ke MAN di Kota Padang Sidempuan. “Jika libur semester, saya pulang kampung selama dua pekan dan ikut menderes untuk mencari biaya kembali lagi. Selain itu, saya juga sering mengangkut getah dari hutan ke sungai menggunakan “kereta” atau motor roda dua melalui jalan menaik dan menurun tajam. Walaupun upahnya tidak seberapa, tapi dikumpulkan untuk menambah biaya sekolah,” tuturnya.
Bagi lelaki humoris ini, jasa bangandanya, tidak terbayar dengan apapun karena lagi lagi biaya melanjutkan ke MAN Padang Sidempuan, tahun 1987-1990, juga ditopang penuh oleh Bang Ismail.
Penulis Tetap Hikmah Republika, Republika Online (Rol), ingat betul, pesan almh. ibundanya yang biasa ia panggil Mak.
“Jika hendak berbakti kepada Mak maka berbaktilah kepada Abangmu si Ismail, sebab ia menghabiskan masa remajanya untuk bekerja keras mencari biaya sekolahmu”, pesan Mak.
Gubuk Bambu
Selama sekolah di MAN, Ustadz Tanjung, tinggal sekamar dengan dua temannya, diantaranya memasak sendiri. Kebiasaan ini disebut dengan istilah “mardagang” (kost).
Sebagai anak yatim, kehidupannya terbilang paling memprihatinkan dibanding dengan teman-temannya dalam hal biaya. Betul-betul harus mengirit hanya sekedar bertahan hidup (mardangol). Namun rasa syukurnya tetap tinggi, biaya yang dikirim dari kampung oleh Mak dan Abangnya Ismail dicukup-cukupkan untuk satu bulan. Meski dengan kondisi demikian, sosok lelaki periang ini selalu belajar tekun.
Kesungguhan dan kesabaran itu membuahkan hasil dengan raihan rangking kelas sampai lulus tahun 1990. Ia juga aktif dalam kegiatan ekstra seperti pramuka dan pengkaderan Da’i/Mubaligh. Sejak di MAN inilah Ustadz Tanjung remaja mulai latihan ceramah dan khutbah Jumat. Sempat beberapa kali praktek langsung di masjid untuk khutbah Jumat di hadapan jamaah yang banyak.
“Alhamdulillah, guru kami yang hadir memberikan apresiasi,” tuturnya.
Pada masa-masa “perjuangan” yang berat itu, ada sebuah lagu yang populer dan kerap dinyanyikan oleh alm. Meggi Z, yakni Gubuk Bambu. Lagu ini sangat menginspirasi dan memotivasi dirinya untuk selalu optimis dalam merubah nasib. Ia masih ingat betul penggalan lagu bernadah sedih tersebut, ‘Biarlah hari ini tinggal di gubuk bambu, tapi suatu saat nanti di istana”
“Saya sebut lagu ini sebagai Lagu Perjuangan,” sembari mendendangkan lagu tersebut. “Di dalam gubuk bambu tempat tinggalku, disini kurenungi nasib diriku. Di dalam gubuk bambu suka dukaku, di sini ku dendangkan sejuta rasa. Ku hapuskan derita dan air mata, ku nyanyikan selalu lagu ceria. Ku pasrah dan berdoa tak putus asa, suatu saat nanti nasib berubah….”.
Menjadi Ustadz
Sejak kecil, alm. Mak Zahara sudah mengharapkan Ustadz Tanjung, kelak menjadi seorang Ustadz. Bahkan Mak pernah menyampaikan pesan alm. Ayahanda Ustadz Tanjung agar menjual kebun karet untuk biaya sekolahnya.
“Jadi, saya sudah dikondisikan agar kelak menjadi penceramah yang bisa mencerahkan umat. Sejak masih kecil saya termasuk paling rajin mengaji dibanding teman-teman sebaya. Bahkan, guru mengaji kami ketika itu, Tulang Baginda Laut Siregar menunjuk saya sebagai asisten untuk mengajari yang lain,” kenang Ustadz Tanjung.
Sebagai asisten, ia diberi “upah”, boleh tidak membawa minyak tanah untuk lampu templok sebagaimana diwajibkan kepada anak-anak lain.
Untuk mewujudkan harapan Ayah dan Mak itulah, Ustadz Tanjung kemudian memilih sekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah hingga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta.
“Alhamdulillah, walaupun belum menjadi ustadz beneran, setidaknya sudah dipanggil ustadz,” ujarnya merendah.
Panggilan ustadz itu, mengingatkannya kembali ke kampung halaman. Tinggal di kampung yang jauh dari keramaian kota dan hidup dalam keterbatasan dalam banyak hal.
Kedua orang tua Ustadz Tanjung boleh jadi memang tidak ada yang tamat Sekolah Dasar (dulu Sekolah Rakyat) karena selain belum ada, juga kondisi kehidupan yang sangat sulit tetapi ia meyakini sepenuhnya dan dari kesan orang-orang yang mengenal kedua orang tuanya adalah orang baik. Alm. ayahnya tidak banyak bicara, lebih banyak memberi contoh teladan daripada nasihat (si poda-poda). Sedikit bicara tapi banyak beramal dan bekerja. Kalau pun bicara hanya yang perlu dan baik saja. Sebagai penganut Tarekat Qadariyah (dengan Khalifah suluk) tentu ayahanda lebih banyak berzikir.
Almh. Mak lebih lama bersama Ustadz Tanjung. Banyak petuah yang masih teringat sampai saat ini. Suatu ketika berpesan dalam bahasa Batak, “Sanga biape boratna pardangolanmu amang, ulang tarida di mukomu” (seberat apapun masalah yang kau pikul nak, jangan tampakkan di raut wajahmu).
Satu lagi pesan yang takkan dilupakan dari kedua orangtuanya adalah mengajarkan kepada semua anak-anaknya untuk memiliki sifat kedermawanan walaupun hidup belum berkecukupan.
Merantau ke Jakarta
Setelah lulus MAN tahun 1990, Suami dari Fatimah Sururi Hasan ini, sempat mendaftar ke IAIN Imam Bonjol, Padang, Sumatera Barat. Namun, sebelum pengumuman kelulusan, Ustadz Tanjung mendapat telegram dari kampung agar segera pulang ke Patihe jika berkeinginan kuliah di Jakarta.
“Mendengar nama Jakarta yang sedemikian besar dan idaman hampir semua orang, saya pun tak banyak pikir lagi, langsung putar balik. Siapa yang tidak mau ke Jakarta. Melihat tulisan di gerobak, “Martabak Jakarta” saja, rasanya bangga, apalagi sampai menginjakkan kaki di ibu kota Indonesia itu,” kisahnya.
Adalah, alm. Bakiri Hasibuan, abangandanya yang menetap di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang akan mengantarnya ke Jakarta. Tujuannya ke salah satu kampus swasta di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Pemilik kampus berasal dari Sipirok yang sukses di Jakarta dan mendirikan sebuah kampus bernama Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP). Selain menerima calon mahasiswa dan mahasiswi pada umumnya perguruan tinggi, kampus ini juga menampung orang-orang kampung untuk “kuliah sambil bekerja”.
Setelah mendapat restu dari Mak, Ustadz Tanjung memutuskan berangkat walaupun kelemahannya mabuk perjalanan, terutama saat naik bus. Akan tetapi, semangat menggebu menghilangkan rasa takut sekaligus menguatkan hati sendiri, bahwa mabuk saat menaiki kendaraan tidak akan membuat seseorang mati.
Menjelang keberangkatan ke Jakarta itu, Mak tak lupa menyampaikan pesan, “Amang, anggo madung mangaratto tu Jakarta, ulang be pikirkon be mulak tu huta on. Jalahi ma parsigantunganmu di sadun” (Nak, kalau sudah merantau dan kuliah di Jakarta, jangan pikirkan lagi untuk kembali ke kampung. Carilah tali pegangan untuk hidup di sana).
“Bismillah, saya melangkahkan kaki meninggalkan Mak yang duduk di bangku teras rumah sambil menutupi wajahnya yang berlinang air mata melepas anak bungsunya ini,” kenang Ustadz Tanjung.
Rasa berat sempat menyeruak. Sebab, saat itu Mak sudah mulai sakit-sakitan dan sudah meninggalkan kegiatan menderes ke kebun. Sementara Mak juga terlihat berusaha tegar dan menguatkan langkah Ustadz Tanjung yang akan mengembara ke negeri yang jauh. Ia peluk erat dan cium tangan ibundanya berkali-kali diiringi isak tangis karena hati Ustadz Tanjung sangat berat untuk meninggalkan ibundanya.
Tidak mudah menuju Jakarta. Perlu dua hari-tiga malam naik Bus Antar Lintas Sumatera (ALS) melintasi pulau Sumatera, hingga akhirnya menyeberang Selat Sunda dan sampai ke Kampus Tercinta IISIP Jakarta.
Awalnya ia mensyukuri, selama di perjalanan ia tidak mabuk di dalam bus meskipun melewati perjalanan yang sangat panjang. Namun, apa yang sangat ia takutkan terjadi juga. Tidak mabuk bus, tetapi di dalam kapal ferry, Ustadz Tanjung tumbang juga, ia mabuk laut disebabkan kuatnya hantaman ombak laut di Selat Sunda, mengombang-ambingkan kapal hingga merobohkan pertahanan Ustadz Tanjung,
Tiba di Kampus Tercinta IISIP Jakarta, Ustadz Tanjung pertama kali berjumpa dengan Sudin Hasibuan (yang saat ini menjabat Pemred Koran Publikasi, dan Redaktur Pelaksana Majalah Bhayangkara Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisia serta Majalah CTRS Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian ), seorang kerabat dekat keluarganya.
“Walaupun kami masih kerabat dekat dan lahir di kampung yang tak terlalu jauh, namun sebelumnya saya tidak pernah ketemu dengan ipar Sudin Hasibuan,” ujarnya sambil mengulum senyum.
Menjual Kebun Karet
Seperti yang pernah disampaikan Mak, bahwa mendiang ayah Ustadz Tanjung, mengizinkan menjual sebidang karet untuk biaya sekolah, agar cita-cita menjadi ustad tercapai. Hasil menjual kebun karet itulah yang menjadi biaya menuju ibu kota. Tidak ada lagi pertimbangan akan kuliah di jurusan apa, yang terpenting bisa kuliah di Jakarta.
Pada akhirnya, Ustadz Tanjung resmi menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Politik di IISIP Jakarta pada tahun 1990. Sembari kuliah, ia dan teman-temannya yang berasal dari kampung mendapat tugas tambahan.
“Semua orang yang berasal dari kampung dan ditampung kuliah di kampus tersebut bekerja sebagai jarumput atau cleaning service,” tuturnya.
Para mahasiswa yang tinggal di asrama kampus tersebut biasa juga disebut sebagai Mahasiswa Bantuan Studi atau MBS.
Baginya, itu tak jadi soal asal bisa kuliah. Sebelum waktu subuh sudah harus bangun dan langsung membersihkan ruangan kuliah dan kamar mandi sesuai yang ditugaskan. Pekerjaan ini harus sudah selesai sebelum para mahasiswa dan dosen berdatangan. Diselingi waktu jam kuliah, siang hari sebagai “office boy” dan sore hingga malam menjadi tukang parkir.
“Kadang kerjaan belum beres, mahasiswa sudah datang. Motto kami waktu itu, muka tembok telinga badak, agar jangan ada rasa malu dan minder,” kenangnya.
Selain jurusan yang didapat (Ilmu Politik) bertolak belakang dengan cita-cita menjadi ustadz, persoalan pribadi antara pemilik kampus dengan alm. Abang ipar di kampung, membuat Ustadz Tanjung dan Sudin Hasibuan harus keluar dari kampus tersebut. Tidak sampai selesai semester kedua, ia kembali harus merancang jalan ke jurusan semula yang dicita-citakan. Dan untuk sekedar bertahan hidup ia ikut membantu warung kelontong milik Sudin Hasibuan di wilayah pinggiran Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan.
Tiba tahun ajaran baru tahun 1991, Ustadz Tanjung memutuskan mendaftar ke Kampus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama (sekarang Komunikasi dan Penyiaran Islam), Fakultas Dakwah.
Setahun tidak belajar ilmu-ilmu agama (setelah lulus dari MAN dan menjalani kuliah di IISIP), kekhawatiran besar pun muncul karena persaingan seleksi masuk yang sangat ketat. Ikhtiar mengikuti bimbingan masuk dan doa di sepertiga malam pun dilakukan.
“Tentu, doa Mak dari kampung yang nampaknya tidak ridho kuliah di Ilmu Politik, alhamdulillah saya diterima di antara sekian banyak orang yang tidak lulus. Banyak sekali kawan-kawan dari daerah Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu yang tidak lulus, walaupun mereka lulusan pesantren ternama,” ujarnya.
Setelah masuk kuliah, hanya beberapa bulan Ustadz Tanjung mendapat kiriman “wesel” atau transferan uang dari Bang Ismail. Sebab, sakit Mak sudah semakin parah dan harus berobat. Sementara Bang Ismail pun sudah berkeluarga dengan beban hidup yang semakin berat. Kondisi ini membuat dirinya sempat merasakan betapa pilunya hati menjadi orang miskin hidup di perantauan.
Selama enam bulan mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan lantaran tidak ada lagi kiriman uang dari kampung. Makan hanya dua kali sehari, itu pun hanya nasi separo, dua tempe goreng, kuah tanpa sayur dan air putih.
Tidak ada jalan lain, Ustadz Tanjung memutuskan mencari-cari alamat beberapa Dosen waktu di Kampus IISIP. Ia betkirim surat untuk menawarkan diri menjadi guru privat mengaji bagi anak-anak dosen tersebut.
Ia kembali bersyukur, berkat pertolongan dua belas dosennya, Pudji Utomo di Tanah Abang dan Omar Abidin Gilang di Radio Dalam, Ustadz Tanjung pun bisa melalui hari-demi hari masa perjuangan yang sangat berat itu. Ia berdoa, semoga Allah Subhana Wata’ala. memberkahi keluarga keduanya dunia akhirat.
Selama kuliah, Ustadz Tanjung menyewa kamar (kost) sekaligus menjadi marbot masjid bersama kawan-kawan di kawasan Legoso, Ciputat. Selesai membersihkan masjid, alm. H. Ibrohim yang mempunya masjid selalu menyiapkan nasi uduk. Disinilah Ustadz Tanjung mendapat kesempatan belajar ceramah. Kalau tidak ada khatib Jumat, ia yang sering menggantikannya. Apalagi di bulan Ramadhan, tak terhitung berapa kali naik mimbar untuk mengisi “kuliah tujuh menit” atau kultum menjelang waktu shalat Tarawih.
Menengok Mak
Sekitar tahun 1994, Ustadz Tanjung, bertemu dengan Pengurus Masjid Komplek Pondok Hijau, Bob Hasibuan yang mengajak tinggal dirumahnya. Sekaligus menjadi Marbot dan Imam di Masjid Pondok Hijau sampai lulus akhir tahun 1995.
“Alhamdulillah, sejak tinggal di rumah beliau, saya baru merasakan makan enak dan bergizi. Apa yang mereka makan itu pula yang saya makan. Sampai saat ini, silaturrahim masih terjalin dengan baik,” katanya.
Selain bantuan dari Masjid tersebut, ia mendapat beasiswa dari Bazis DKI Jakarta. Sampai lulus kuliah, sebagian besar biaya hidup dan kuliah berasal dari gaji honor privat mengajar mengaji. Walau jalan mendaki dan beban yang berat, Ustadz Tanjung bisa menyelesaikan kuliah paling cepat dengan nilai sangat memuaskan. Sebagai ungkapan rasa syukur, setelah wisuda saya langsung pulang kampung menemui Mak yang kondisi kesehatannya sudah semakin “parah”.
Tak terkira, betapa bangganya Mak mendengar bahwa anaknya sudah jadi sarjana di Jakarta dengan perjuangan yang sangat berat. Selama dua pekan di kampung, Ustadz Tanjung diundang ceramah di beberapa desa. Dihitung-hitung, “uang transport” berceramah cukup untuk ongkos kembali ke Jakarta.
Ia masih ingat, saat memberikan Rp25.000 untuk biaya berobat ibundanya. Sambil menangis haru dan sedih, Mak mengembalikan Rp5000 ribu untuk menambahi uang makan Ustadz Tanjung di perjalanan untuk kembali ke Jakarta.
Sungguh berat hati Ustadz Tanjung meninggalkan Mak yang sakit. Jangankan berjalan, untuk berdiri pun susah. Mengambil sesuatu ke dapur pun harus merangkak. Batuknya sudah mengeluarkan darah. Sempat terbersit di benaknya, jika Mak akan kembali ke haribaan Ilahi ketika dirinya masih di kampung.
Apa lagi, ada keinginan Maknya yang harus dipenuhi, yakni menjadi imam shalat jenazahnya bila kelak ibundanya kembali kesisi Allah SWT. Karena itulah, Ustadz Tanjung sempat memutuskan untuk menunda kembali ke Jakarta. Waktu pun berjalan terus. Akhirnya Ustadz Tanjung memutuskan untuk melanjutkan perjuangan. Rasa cemas untuk tidak bertemu lagi ibundanya yang ia sangat cintai itu begitu besar. Ustadz Tanjung menyampaikan permohonan maaf, tidak bisa lagi tinggal lebih lama di sisi ibundanya. Akhirnya Maknya pun mengikhlaskan, dengan memohon keikhlasan anak bungsunya Ustadz Tanjung jika dikemudian hari nanti mereka tidak bisa ketemu lagi.
Saat mau beranjak melangkahkan kaki meninggalkan ibundanya tersa begitu berat, karena tidak kuasa melihat kondisi ibundanya duduk terpaku dengan cucuran air mata menatapi kepergiannya. Namun, apa boleh buat, perjalanan dan perjuangan hidup untuk meraih cita-caitanya baru dimulai dan masih panjang serta penuh dengan tantangan.
Dalam hati Ketua Yayasan Dinamika Umat itu, kelak suatu hari akan membawa Maknya ke Jakarta untuk berobat. Namun, harapan itu tak terwujud. Sekitar enam bulan setelah kembali ke Jakarta, ia mendapat kabar kepergian ibundanya keharibaan pencipta. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Surat Lamaran Itu
Sekembali ke Jakarta, Ustadz Tanjung, mengirim surat lamaran kerja yang sangat banyak. Ada tiga cita-citanya, yakni menjadi dosen, wartawan atau pembina rohani tentara (Prajurit Karir). Dari sekian lamaran itu, ia diterima di Fakultas Studi Islam Universitas Djuanda Bogor tahun 1996.
Walaupun tidak menjadi wartawan, hingga saat ini Ustadz Tanjung kerap menulis di Koran Harian Republika, dan sering ceramah di hadapan tentara atau pejabat negara.
Menjadi Dosen tentu tidak cukup hanya dengan berpendidikan S1. Oleh karena itu, pada tahun 2002, ia melanjutkan kuliah Magister (S2), Program Studi (Prodi) Pemikiran Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus 2005.
Sebenarnya kondisi untuk melanjutkan kuliah tersebut belum sepenuhnya siap dari sisi biaya. Ustadz Tanjung sering berhutang untuk membayar uang kuliah. Bahkan, setelah lulus pun, hutang belum juga lunas. Meski demikian, Ustadz Tanjung kembali melanjutkan kuliah Doktor (S3) tahun 2012 di Prodi Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun, Bogor dan lulus tahun 2015.
Sejauh ini, ia sudah menulis enam buah buku dan menjadi rujukan mahasiswa dan jamaah di penjuru negeri. Setelah 22 tahun mengabdi di Unida Bogor, Ustadz Tanjung pindah ke Kampus Institut Ummul Quro al-Islami (IUQI) di Leuwiliang Bogor, pada awal 2018. “Insyaallah, pada awal tahun 2021, saya akan berlabuh di Program S2 Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIKA Bogor,” ungkapnya.
Mahasiswi Itu Bernama Fatimah
Selama kuliah di IAIN Jakarta, Ustadz Tanjung, melalui masa-masa yang sangat sulit. Perjuangan merubah nasib sedemikian beratnya. Kemiskinan menjadi pemantik untuk terus maju dan pantang menyerah. Pesan H. Rhoma Irama, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, baru kemudian”, menjadi penyemangat untuk pantang mundur.
Untuk membeli buku pelajaran saja tidak sanggup. Seingatnya, waktu kuliah hanya punya satu buku tulis tebal untuk semua mata kuliah. Jika membuat makalah hanya mengandalkan perpustakaan atau meminjam ke teman-temannya.
Suatu kali, Ustadz Tanjung didaulat menjadi pemakalah dan harus memfotokopi sebanyak jumlah mahasiswa di kelasnya. Lalu, ia meminta seorang mahasiswi untuk membayarnya. Rayuannya, akan rugi jika tidak dapat makalah bagus tersebut. Bahkan, ketika menulis skripsi pun, ia tidak mempunyai komputer. Mesin ketik tua sudah tidak layak dipakai. Akhirnya, memberanikan diri meminjam komputer si mahasiswi tadi.
Namanya juga orang Batak merantau, nasib boleh malang tapi keberanian harus tetap tumbuh, kalau tidak akan “melayang”. Dalam banyak keperluan, Ustadz Tanjung banyak dibantu mahasiswi tersebut dan persahabatan keduanya pun semakin dekat. Hingga akhirnya si mahasiswa selalu memanggilnya “Bang Tanjung”.
Keduanya satu kelas dan sering diskusi dalam berbagai kesempatan. Menjelang akhir kuliah, ada keinginan Ustadz Tanjung untuk mengetahui keluarga mahasiswi pujaannya itu di Cilegon, Banten. Mahasiswa impiannya ini, sebenarnya dari kalangan berada, namun dalam keseharian, si mahasiswi tidak pernah menunjukkannya.
“Walaupun awalnya tidak direstui oleh orang tuanya, namun qadarullah, saya melamar mahasiswi yang bernama Fatimah Sururi. Tidak lama setelah wisuda, kami menikah tahun 1996,” tuturnya sumringah.
Saat menikah, seluruh biaya resepsi ditanggung oleh keluarga mempelai wanita. Pernikahan yang mengharukan, berpadu antara bahagia dan duka. Bagaimana tidak, satu sisi duduk bersanding di pelaminan, tapi di sisi lain Mak baru saja kembali ke Haribaan Ilahi seminggu sebelumnya.
Ketika surat undangan resepsi pernikahan telah disebar, telegram dari kampung mengabarkan bahwa Maknya telah kritis selama tiga hati. Ustadz Tanjung diminta pulang jika ingin masih bertemu dengan Mak. Pilihan yang paling sulit selama hidup yang pernah dihadapi. Jika pulang ke kampung dan terlambat kembali, bagaimana dengan resepsi dan nama baik keluarga calon istri.
Akhirnya diputuskan untuk tidak pulang, dan melangsungkan resepsi pernikahan. Hutang yang tak pernah terbayar sampai kapan pun adalah menjadi imam shalat jenazah Mak. Ia hanya minta maaf dan mohon ampun kepada Allah SWT.
Setelah menikah, keluarga istrinya kemudian sangat berperan besar dalam membantu kehidupan ekonomi rumah tangga barunya. Seiring waktu berjalan, keberuntungan besar menyinggahi rumah-tangganya. Keduanya diberangkatkan ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga besarnya tahun 1998.
Setahun berikutnya lahir anak pertama pasangan ini, Difa Mahya Zahara Tanjung dan baru lulus dari Prodi Sastra Inggris dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiga tahun kemudian anak kedua menyusul, Ihza Aulia Sururi Tanjung lahir dan akhir 2018 mengembara mencari ilmu dan adab di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Ustadz Tanjung berdoa, keduanya akan menjadi ilmuwan muslim yang berpengaruh pada masanya nanti dan memberikan kontribusi besar bagi kemajuan umat Islam, aamiin.
Bukit Dinamika Umat
Sejak lulus kuliah, Ustadz Tanjung, mengajar di Universitas Djuanda (UNIDA), Ciawi, Bogor. Ia bersyukur, salah satu cita-citanya terwujud dengan diterima menjadi Dosen di kampus tersebut dan juga sesuai bidang keilmuannya. Selain mengajar, Ustadz Tanjung aktif berceramah dari masjid-ke masjid dan majlis taklim serta perkantoran di Jakarta.
Pada tahun 2003, Ustadz Tanjung dan istri mendirikan Yayasan Dinamika Umat di Bogor. Awalnya, kegiatan yayasan hanya fokus membantu dan membina anak yatim dan dhuafa di sekitar perumahan agar bisa bersekolah. Ternyata, kondisi sosial keagamaan ketika itu menuntut agar membuka sekolah Islam. Walau tanpa pengalaman di bidang pengelolaan lembaga pendidikan, dan hanya bermodal semangat dakwah, pasangan ini memutuskan membuka SDIT Dinamika Umat tahun 2007.
Respon masyarakat ternyata sedemikian tinggi. Tahun pertama menerima murid 50 orang. Melihat perkembangan yang semakin kondusif, Ustadz Tanjung dan istri memutuskan membeli sebidang tanah di pinggiran perumahan dengan meminjam uang kepada seorang donatur yang dermawan. Tiga tahun berikutnya, tepatnya tahun 2010, berdirilah SMP IT Dinamika Umat. Selain untuk mendidik anak didik yatim dan dhuafa yang dibina yayasan, juga terbuka untuk masyarakat luas.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2020, pasangan ini kembali membuka SMA IT Dinamika Umat untuk melanjutkan lulusan anak didik SMP. Saat ini jumlah murid keseluruhan, yakni SD, SMP, dan SMA mencapai 425 orang. Diantaranya terdapat sekitar 50 yatim dhuafa yang dibina yayasan. Mereka wajib menghafal Quran dan tinggal di asrama.
“Alhamdulillah, berawal dari menyewa sebuah ruko, kini luas tanah sekolah sudah mencapai sekitar 1,5 hektar. Alhamdulillah, bangunan gedung sekolah sudah permanen dan mencukupi, masjid dua lantai dan asrama. Sebagian besar dana untuk membangun Sekolah bersumber dari dana zakat, infak dan wakaf jamaah yang tersebar di penjuru negeri,” tuturnya.
Selain mengelola kegiatan sekolah yang akan terus berkembang, Ustadz Tanjung juga aktif menulis di Koran Republika setiap dua pekan sekali. Begitupun ceramah dan khutbah Jumat menjadi penghidupan dan kehidupan sejak lulus kuliah. Dalam sepuluh tahun terakhir, jadwal khutbah penuh setiap tahun, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sampai ke beberapa daerah.
Menurutnya, tidak mudah mengelola lembaga pendidikan Islam, apalagi bagi seorang perantau (pendatang). Banyak kendala yang dihadapi, baik di tengah masyarakat maupun di birokrasi pemerintah daerah. Namun, dengan kesabaran dan kesungguhan setiap kendala yang muncul dapat diatasi.
Kedepan ia berharap, dapat memperluas lahan sekolah. Rencananya dapat membuka perguruan tinggi Islam di tahun 2030. Jika hal itu terwujud, Bukit Dinamika Umat akan menjadi pusat kegiatan Islam (Islamic Center) di Bogor.
Pesan Bagi Generasi Muda
Menurut Ustadz Tanjung, zaman memang sudah berubah dan kondisi masyarakat pun ikut berubah. Boleh jadi kondisi ekonomi yang semakin membaik, membuat generasi muda semakin berpikir pragmatis dan instan, sehingga semangat bersekolah menjadi berkurang. Sebagian mereka memilih merantau untuk merubah nasib daripada melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tentu bukan pilihan yang salah, asalkan mereka mau belajar meningkatkan kualitas memperbaiki diri.
Karena itu Dosen Institut Ummul Qura Al-Islam Bogor ini berpesan, pendidikan sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan hidup. Pemikirannya, meskipun tidak semua orang yang sekolah atau kuliah itu berhasil, akan tetapi semua orang yang berhasil itu berpendidikan. Di sisi lain, belajar itu kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana pesan Baginda Nabi Shallahu Alaihi Wassalam.
Orang berilmu itu, lanjutnya, lebih utama dari berharta, dan beradab lebih mulia dari orang berilmu. Apalagi kalau ketiganya diperoleh, maka akan meraih kemuliaan dunia akhirat. Saat ini, tidak ada alasan untuk tidak sekolah. Selagi ada kemauan, selalu ada jalan. Bagi yang rajin belajar dan menghafal al-Quran akan banyak orang yang membantu atau memberikan beasiswa, bahkan sampai ke luar negeri.
Yayasan Dinamika Umat yang didirikannya, merupakan salah satu lembaga untuk membantu anak didik yang kurang mampu, apalagi dari kampung halaman.
“Jika adik-adik ingin ke Jakarta atau Bogor, belum ada tempat tujuan, silahkan singgah ke Bukit Dinamika Umat. Adong halak hita sian Patihe di Bogor (ada orang kita dari Patihe di Bogor). Silakan buka website Dinamika Umat untuk mengetahui kegiatan dan perkembangan Model Sekolah Bersih tanpa Cleaning Service tersebut. Horas di hita sudena! pungkasnya. (Sudin Hasibuan/Abdullah Karim Siregar)