Jakarta, PUBLIKASI – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani buka suara mengenai terjadinya peningkatan signifikan terkait posisi utang pemerintah. Hingga akhir Desember 2020 utang Indonesia tembus 6.074,56 triliun. Dengan begitu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68%.
“Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional,” tulis Sri Mulyani seperti dikutip pada buku APBN Kita, Minggu (17/1).
Saat ini, Posisi utang tersebut diketahui mengalami kenaikan hingga 27,1% dibanding 2019 yang sebesar Rp4.778 triliun. Tahun 2019 lalu, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga lebih rendah, yaitu 29,8 persen.
Kemenkeu memastikan komposisi utang pemerintah tetap dijaga dalam batas tertentu sebagai pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi, di mana Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah adalah 60%. Komposisi utang saat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Secara rinci, pembiayaan utang itu didapatkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.177,2 triliun atau naik 163% dari tahun sebelumnya. Sementara pinjaman hanya Rp 49,7 triliun atau minus 667% dari periode 2019.
Untuk pembiayaan investasi selama 2020 terealisasi Rp 104,7 triliun, dari target pemerintah dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp 257,1 triliun. Pembiayaan investasi ini diberikan pemerintah ke sejumlah BUMN maupun BLU akibat pandemi Covid-19.
Investasi kepada BUMN mencapai Rp 31,3 triliun, BLU Rp 31,3 triliun, dan lembaga atau badan lainnya Rp 25 triliun.
Pemberian pinjaman selama tahun lalu sebesar Rp1,5 triliun, kewajiban penjaminan Rp3,6 triliun, dan pembiayaan lainnya Rp70,9 triliun.
Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2020 tercatat sebesar USD416,6 Miliar setara Rp5.853 triliun (kurs Rp14.050 per USD). Disebabkan oleh peningkatan penarikan netto ULN Pemerintah.
Menanggapi hal itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, jumlah ULN Indonesia cukup mengkhawatirkan karena nanti pastinya utang tersebut akan terus menumpuk sekaligus dengan beban bungannya.
“Sementara kondisi utang pemerintah sendiri cukup mengkhawatirkan karena pemerintah membayar USD1,1 miliar per November 2020 yang terdiri dari pokok utang dan bunga utang,” kata Bhima, Sabtu (16/1).
Dia cukup menyayangkan jumlah ULN yang kian membengkak itu tidak dibarengi dengan penerimaan valas yang seimbang. Tercatat debt to service ratio atau DSR secara tahunan masih relatif tinggi yakni 47%.
“Angka ini jauh berada diatas rata rata normal DSR pada negara berkembang,” ujarnya.
Dia menjelaskan, angka DSR untuk negara berkembang itu yang sepantasnya ialah di bawah di bawah 25%.
“Filipina misalnya 9.7%, Thailand 8%, Vietnam 5.8%, Rusia 17.6%, dan Meksiko 12.3%,” katanya. (Red)