Stakeholder Consultation Ke-3: Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20 Fokus Tingkatkan Akses Pembiayaan Transisi Energi

Jakarta, PUBLIKASI – Stakeholder Consultation Ke-3, Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20 yang dilaksanakan di Jakarta fokus pada peningkatan dukungan pembiayaan dalam rangka mempercepat transisi energi.

Stakeholder Consultation Ke-3 dilaksanakan untuk mendapat masukan dari para pemangku kepentingan, sehingga rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dapat mewakili pandangan para pelaku usaha/lembaga sektor keuangan. Para stakeholder diharapkan memberikan masukan atas isu-isu prioritas yang dibawa oleh Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20.

Chair of Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, Nicke Widyawati  mengatakan topik diskusi pada Stakeholder Consultation Ke-3 berfokus pada aspek pembiayaan, utamanya terkait kerja sama global dalam menyalurkan dan ketersediaan pembiayaan dalam skala besar untuk investasi transisi energi.

“Pertukaran pandangan selama Stakeholder Consultation ini akan memperkaya proses pembentukan rekomendasi Task Force Energy ke G20,” ujar Nicke di depan peserta Stakeholder Consultation Ke-3, Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, Jumat (18/3).

Menurut Nicke, berbagai  isu utama yang dibahas dalam Stakeholder Consultation ke-3 ini antara lain terkait kerja sama global untuk pasar karbon serta penyaluran dana untuk membiayai transisi energi, serta bagaimana penerapan standar pelaporan keberlanjutan (sustainable reporting) dan taksonomi yang diakui secara global. Dalam Stakeholder Consultation juga dihadiri narasumber dari berbagai lembaga keuangan, yaitu World Bank, MUFG Bank, Global Reporting Initiative (GRI), International Federation of Accountants (IFAC), World Research Institute (WRI) selaku Network Partner, dan PwC dan BCG sebagai Knowledge Partner di dalam Task Force

Nicke menambahkan, secara global, sektor energi merupakan sektor yang memiliki tantangan yang paling kritis untuk beralih ke energi berkelanjutan (sustainable energy) sebagai upaya mengurangi emisi karbon yang  menjadi penyebab gas rumah kaca.

“Kondisi di Indonesia sedikit berbeda, karena kontribusi emisi karbon dari energi berada pada kisaran 20% – 36% dibandingkan dengan deforestasi yang berada pada kisaran 44% – 62%. Tetapi, hal ini tidak bisa menjadi alasan bagi para pelaku industri, khususnya di sektor energi, untuk tidak ikut serta dalam pengurangan emisi gas rumah kaca,” ujar Nicke.

Mengacu pada perkiraan IPCC, Nicke mengatakan kenaikan suhu rata-rata global saat ini sudah  mendekati ambang batas konsensus 1,5 derajat celcius.

“Ada sedikit waktu  yang tersisa untuk mengambil tindakan drastis untuk  mengurangi percepatan emisi puncak ke transisi hingga menuju ke net zero, yang saat ini tertinggal secara signifikan,” imbuh Nicke.

Sebagai Chair of Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, Nicke mengajukan 3 rekomendasi  kebijakan yang harus menjadi fokus bersama  untuk  menekan percepatan laju pemanasan global yang terjadi saat ini.

Pertama, mempercepat transisi menuju penggunaan energi yang berkelanjutan,  dengan meningkatkan kerja sama global mengakselerasi transisi menuju penggunaan energi yang berkelanjutan melalui upaya  pengurangan intensitas karbon dalam penggunaan energi.

Kedua, memastikan transisi yang adil dan  terjangkau, dengan meningkatkan kerja sama global  dalam rangka  untuk  memastikan transisi yang adil, teratur, dan terjangkau menuju penggunaan energi yang berkelanjutan di seluruh negara maju dan berkembang.

Ketiga,  kerja sama global dalam meningkatkan ketahanan energi,  dengan cara mendorong kerja sama global untuk meningkatkan ketahanan energi tingkat konsumen melalui pemberian akses dan kemampuan untuk mengkonsumsi energi yang bersih dan modern.

Nicke mengungkapkan, perumusan Rekomendasi Kebijakan ini melibatkan beberapa pihak yang ada dalam Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20, termasuk 8 Co-Chairs yang merupakan C-Level dari pelaku usaha negara G20 dan lebih dari 140 Anggota yang memberikan masukan dalam arah Rekomendasi Kebijakan dan prioritas masalah.

“Yang paling penting dalam perumusan rekomendasi ini adalah keselarasan dengan para pemangku kepentingan, sehingga isu-isu yang kita bawa ke task force bisa sejalan dengan arah kebijakan Indonesia di G20,” pesan Nicke.*

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Kerja sama Internasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang juga menjabat sebagai B20 Sherpa, Dr. Rizal Affandi Lukman mengatakan bahwa konsultasi pemangku kepentingan yang berkelanjutan ini sangat penting untuk mengumpulkan ide-ide informasi yang relevan dan wawasan dari berbagai pemangku kepentingan yang relevan.

“Sejak awal Task Force ESC adalah gugus tugas paling populer di dalam presidensi B20 Indonesia. Ini adalah sinyal kuat bahwa masalah energi, keberlanjutan, dan iklim sangat relevan bagi banyak pihak saat ini,” ujar Rizal.

Melalui diskusi tersebut, ia mendorong agar hasilnya dapat segera dilaksanakan lebih lanjut.

“Mari lebih terbuka dan kritis hari ini, karena keterlibatan kita semua sebagai sumber informasi berharga yang dapat digunakan. Ke depan tentunya akan menjalin kolaborasi dan kemitraan yang kuat dalam melahirkan rekomendasi kebijakan yang baik untuk semua,” pungkas Rizal. (*/Red)

Leave a Comment!