Bandung PUBLIKASI – Pada sebagian orang mungkin tidak memiliki perhatian pada masalah tidur, tapi pada sebagian lainnya banyak yang mempelajari ilmu tentang tidur ini agar bisa menerapkannya secara efektif dan efisien. Jika kita tidak memahami ilmu tentang TIDUR, maka kita tidak mengatur ataupun menerapkan manajemen tidur itu dengan baik. Oleh karenanya tidak sedikit orang yang tetap merasakan lelah padahal baru bangun tidur. Bahkan sebagian orang lagi merasakan sulit untuk tidur dan mengalami berbagai gangguan tidur lainnya. Padahal setiap manusia pasti memerlukan tidur, karena tidur adalah sebuah proses yang sangat alami dan penting untuk kesehatan. Ungkap Pemerhati Kesehatan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Senin (14/12).
Pada saat tidur, tanda – tanda kehidupan seperti kesadaran, puls, dan frekuensi pernapasan mengalami perubahan. Dalam tidur normal biasanya fungsi saraf motorik juga saraf sensorik untuk kegiatan yang memerlukan koordinasi dengan sistem saraf pusat akan dihentikan, sehingga pada saat tidur cenderung tidak bergerak dan daya tanggap pun berkurang. Fase peralihan dari sadar ke tidur disebut sebagai Pradormitium dan fase peralihan dari tidur kembali ke sadar disebut sebagai Postdormitium. Di dalam ilmu kedokteran ilmu yang mempelajari gangguan tidur disebut sebagai Somnologie.
Merujuk pendapat ahli Guyton & Hall, tidur dapat difinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur memiliki 2 efek fisiologis bagi tubuh, yaitu efek untuk sistem saraf dan efek untuk sistem fungsional tubuh yang lainnya. Efek untuk sistem saraf tampaknya jauh lebih penting karena sistem saraf mengambil peranan yang dominan dalam keseluruhan sistem yang bekerja dalam tubuh. Bagaimanapun cara orang tidur, akan dapat memulihkan tingkat aktivitas normal atau tenaga yang telah dikeluarkan oleh individu selama beraktivitas dan akhirnya membuat individu tersebut kembali ke keadaan homeostasis.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa tidur dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Pada umumnya tidur dimulai dengan tahap NREM yang terdiri dari empat tahap baru kemudian dilanjutkan fase REM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian yaitu sekitar 4-5 siklus dalam satu malam.
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.
Semua hal yang mengganggu fisiologi tidur yang normal, berpotensi untuk menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis tidur dan faktor sirkadian yang mengatur tidur. Untuk beberapa orang, gangguan yang terjadi mengarah pada gangguan kesehatan medis. Beberapa kasus yang paling sering adalah sleep apnea, narcolepsy, restless legs syndrome, parasomnia dan insomnia.
Kualitas tidur tidak hanya dinilai dari aspek kualitatif tetapi juga aspek kuantitatif seperti misalnya lamanya waktu tidur, waktu yang diperlukan untuk tertidur dan frekuensi terbangun dari tidur pada malam hari. Selain itu penilaian subjektif tidur juga tidak boleh diabaikan seperti misalnya perasaan puas dan segar setelah bangun di pagi hari, rasa berenergi atau kelelahan yang muncul pada saat bangun tidur di pagi hari.
Kualitas tidur yang buruk dapat mengarah kepada kesehatan fisik dan psikologis yang buruk. Secara fisiologis, kualitas tidur yang buruk membuat kesehatan personal menurun dan tingkat kelelahan meningkat, serta berhubungan dengan terjadinya berbagai macam penyakit seperti penyakit kardiovaskular, inflamasi, diabetes dan penyakit lain. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa kualitas tidur yang buruk menyebabkan peningkatan tekanan darah dan meningkatnya resiko penyakit stroke.
Secara psikologis, kualitas tidur yang buruk terkait dengan penurunan fungsi kognitif. Masalah yang sering terjadi adalah emosi menjadi tidak stabil, kepercayaan diri yang menurun, menjadi lebih sembrono atau teledor dan masalah yang terkait harga diri. Kecemasan, kebingungan, suasana hati yang buruk, depresi, dan kepuasan hidup yang rendah juga merupakan kasus yang sering ditemukan jika seseorang memiliki kualitas tidur yang buruk. Secara simultan hal-hal tersebut dapat menyebabkan perlambatan psikomotor kronik dan masalah konsentrasi.
“ Instrumen yang banyak digunakan untuk mengukur kualitas tidur seseorang adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yaitu sebuah instrumen yang efektif untuk mengukur kualitas dan pola tidur pada orang dewasa. Pengukuran dengan PSQI merupakan pengukuran yang singkat dengan komponen psikometrik yang relatif baik yang sangat berguna bagi klinisi atau peneliti untuk mengetahui berbagai gangguan tidur yang mungkin mempengaruhi kualitas tidur. PSQI ini adalah instrumen pengukuran retrospektif yang paling sering dipakai dan merupakan satu-satunya pengukuran yang mengestimasi kebiasaan tidur secara kuantitatif. Instrumen ini membedakan good sleepers dengan poor sleepers dengan mengukur tujuh aspek tidur yaitu kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi pada siang hari dalam satu bulan ke belakang. PSQI ini memiliki konsistensi internal dan koefisien reabilitas sejumlah 0.83% untuk ketujuh komponen tersebut “, pungkas Dede mengakhiri diskusi. **