Pandemi covid 19 yang menyebar hampir ke seluruh pelosok dunia ini, tentu di samping berdampak negatif ada juga dampak positipnya. Dampak negatif tentu tidak lepas dari persoalan kesehatan masyarakat, ekonomi yang terpuruk, aktivitas masyarakat yang terbatasi, dan lain – lain. Sementara dampak positipnya seperti percepatan proses adaptasi masyarakat dengan teknologi IT, dan juga masifnya pemikiran untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, serta inovasi lain karena berbagai keterbatasan yang mengekang dalam situasi yang sulit ini. Termasuk didalamnya adalah berbagai upaya dalam membangun Sistem Rekognisi Imunitas Spesifik dengan memanfaatkan mekanisme penyajian Antigen oleh sel-sel APC. Berbagai riset di bidang ini juga ditunjang oleh kemajuan ilmu bioinformatika sebagai aplikasi dari alat komputasi dan analisa untuk menangkap dan menginterpretasikan data-data biologi.
Ilmu bioinformatika lahir atas insiatif para ahli ilmu komputer berdasarkan artificial intelligence yang memiliki basis konsep bahwa semua gejala yang ada di alam ini bisa dibuat secara artificial melalui simulasi dari gejala-gejala tersebut. Di dalamnya tentu diperlukan data-data yang yang menjadi kunci penentu tindak-tanduk gejala alam tersebut, yaitu gen yang meliputi DNA atau RNA. Begitupun dengan perkembangan teknologi DNA rekombinan yang memainkan peranan penting dalam lahirnya bioinformatika. Teknologi DNA rekombinan memunculkan suatu pengetahuan baru dalam rekayasa genetika organisme yang dikenal dengan istilah bioteknologi.
Bioinformatika merupakan perpaduan harmonis antara teknologi informasi dan bioteknologi, yang dilatarbelakangi oleh ledakan data (data explosion) observasi biologi sebagai hasil yang dicapai dari kemajuan bioteknologi. Contohnya adalah pertumbuhan pesat database DNA pada GenBank. Genbank adalah database utama dalam biologi molekuler, yang dikelola oleh NCBI (National Center for Biotechnology Information) di AS. Hal ini menjadi salah satu pembuka jalan bagi proyek-proyek pengungkapan genom, yang meningkatkan kebutuhan akan pengelolaan dan analisis sekuens, dan pada akhirnya menyebabkan lahirnya bioinformatika.
Terkait dengan hal ini, jadi teringat pada tulisan sahabat Dr. Tauhid yang sering menguraikan analisa kesehatan sampai detail. Beliau juga menyampaikan bahwa sejak penemuan plasmid atau struktur DNA ekstra kromosomal yang sebagian besar diantaranya berstruktur superkoil dengan konformasi kovalen atau covalently closed circular yang memiliki kemampuan bereplikasi secara otonom dan mengekspresikan protein tertentu, oleh Robert Koch pada 1887 di struktur bakteri Bacillus Anthracis, terkuaklah potensi untuk menghasilkan berbagai jenis protein rekombinan.
Penemuan awal Robert Koch memicu terjadinya penemuan lanjutan, yang antara lain dihasilkan oleh suatu penelitian terhadap proses konjugasi bakteri Eschericia Colli yang ternyata melibatkan struktur DNA ekstra kromosomal. Penelitian itu dilakukan oleh Lederberg dan Hayes pada tahun 1952. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa syarat bahwa plasmid dapat melakukan replikasi di dalam sel bakteri adalah adanya struktur DNA sebagai ORI (origin replicon). Replicon dalam bakteri memiliki urutan gen spesifik penyandi protein (Rep), unit berulang yang dinamakan iteron, dan sekuens DnaA, serta AT rich area.
Tahap selanjutnya plasmid dikembangkan sebagai vektor kloning. Dimana kemampuan mereplikasi dirinya dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak gen-gen tertentu sesuai dengan target protein yang diinginkan. Salah satu plasmid sebagai vektor kloning yang paling awal dan banyak digunakan adalah pBR322. Sementara syarat yang menentukan ideal tidaknya suatu plasmid untuk dijadikan vektor kloning, antara lain adalah ukurannya kecil, memiliki daerah di DNA nya yang bersifat high copy number, memiliki selection marker gene, reported gene, juga memiliki situs pemotongan enzim restriksi yang memungkinkan untuk dilakukannya proses penyisipan potongan DNA yang akan dikloning.
Pada hakikatnya kemampuan memproduksi protein rekombinan adalah salah satu kata kunci dalam konstruksi gagasan untuk “menginstal”kan pathogen library ke sistem memori imunitas. Tujuannya adalah memberi alternatif proses imunisasi dengan cara membuat modular berisi berbagai protein rekombinan antigen patogen yang diinkubasikan atau dipaparkan secara in-vitro kepada sekelompok sel dendritik yang diharapkan setelah dikembalikan ke dalam tubuh, melalui mekanisme APC/antigen presenting cell dapat membangkitkan proses pembentukan memori spesifik.
Gagasan ini diawali saat melihat kapasitas bioinformatika dan riset in-silico yang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Bioinformatika dapat digunakan untuk mendesain dan mengonstruksi plasmid agar dapat menghasilkan protein yang akan digunakan. Sebagai gambaran untuk pemetaan plasmid saja sudah banyak piranti lunak yang kerap digunakan di penelitian seperti ApE, Clone Manager, GeneConstructionKit, Geneious, Compiler genome, LabGenius, Lasergene, MacVector, pDraw32, Serial Cloner, VectorFriends, Vector NTI, dan WebDSV.
Sementara itu desain protein rekombinan yang merupakan representasi dari antigen penanda patogen dapat dilakukan dengan pendekatan Reverse Vaccinology (Rappuolo, 2001) yang diawali dengan pemetaan dari hasil sekuens genom patogen dengan teknologi next genome sequencing. Bahkan saat ini sudah tersedia platform kolaboratif untuk saling berbagi hasil sekuensing patogen dari hasil WGS (whole genome sequencing), misal seperti di GISAID untuk data virus influenza.
Dengan demikian ada peluang untuk memetakan sekuens antigen, mendesain vektor, dan memproduksi protein rekombinan untuk selanjutnya ditransfer ke sel-sel penyaji antigen (APC). Itu gagasan awal yang terinspirasi oleh pengembangan pemanfaatan sel dendritik sebagai pemicu imunogenisitas terhadap virus Sars CoV-2 yang dilakukan oleh tim peneliti Aivita (Taruna Ikrar et al, 2020). Gagasan selanjutnya adalah mengintegrasikan konsep antigen combo sehingga dapat menjadi alternatif bagi vaksin modular seperti Pentabio atau Flubio (Biofarma) yang terdiri dari beberapa komponen antigen dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Jika modul antigen berupa protein rekombinan hasil ekspresi dari vektor kloning dapat ditransfer ke sel-sel penyaji (makrofag, dendritik, atau limfosit B), maka selanjutnya tentu akan diproses melalui jalur generik pengolahan antigen. Yaitu dimulai dengan proses endositosis melalui fagosom, dilanjutkan dengan pemotongan protein menjadi peptida dengan 7-14 asam amino. Bahkan jika bisa mengembangkan teknik yang lebih presisi, maka yang ditransfer ke sel-sel penyaji bisa saja langsung berupa peptida rekombinan. Pada tahap berikutnya peptida bersama molekul MHC-II akan mengaktivasi sel-sel T naif CD-4 untuk mematurasi subset sel limfosit Th-CD4 yang akan membangun sistem memori di sel T memori. Dimana sel T memori atau Sel T sentral memori (TCM) berasal dari prekursor sel T-CD4 dengan kemampuan regeneratif marena adanya faktor transkripsi STAT5 yang mampu melakukan proses fosforilasi tingkat tinggi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sel TCM mempunyai ekspresi selektin-L dan pencerap CCR7, serta mensekresjkan IL-2.
Sementara sebagai tulang punggung pengenalan antigen patogen utama adalah stimulasi subset Th-CD4 pada sel limfosit B yang akan menghasilkan antibodi spesifik, IgM sebagai respon awal, dan IgG sebagai respon lanjutan yang bertahan lebih lama. Proses pembentukan memori dan proses recalling dapat terjadi pada jalur sel limfosit B memori. Saat terjadi respon imun terhadap suatu antigen spesifik dimana sel Th-CD4 yang telah berikatan dengan MHC-II dari sel penyaji melalui reseptor sel T (TCR) akan mendorong diproduksinya sel plasma berusia pendek yang menghasilkan Ig M. Sementara secara paralel T Helper Folicullair/ThF akan menghasilkan IL-21 untuk menginisiasi reaksi Germinal di Germinal Center kelenjar limfe regional/Perifer. Dimana IL-21 bersama BCL-6 akan menghasilkan sel B memori melalui mekanisme clonal selection.
Pada respon kedua, pajanan antigen berikutnya (pasca vaksinasi dan ada virus masuk) maka terjadi recall response dimana akan terjadi plasma blast dari sel B memori yang berada di SLO (secondary limfoid organ/kelenjar limfe regional, bersama sel prekursor Th Memori dari darah akan ditarik ke dalam sumsum tulang dengan bantuan molekul CXCR4-CXCL12 dan S1P1-S1P. Untuk selanjutnya memproduksi sel B/Plasma yang dapat menghasilkan antibodi spesifik (IgG) yang akan digunakan untuk mengantisipasi kehadiran patogen. Salah satu kesulitan yang teridentifikasi saat ini adalah mungkin sistem modular akan membingungkan sistem penyajian dari sel-sel APC, maka solusi alternatifnya yang dibuat modular adalah sel-sel APC nya yang dipajankan pada peptida rekombinan sesuai dengan kelompok patogennya. Sekumpulan sel penyaji yang telah dibekali protein penanda (peptida antigen) akan dimasukkan ke tubuh sebagai paket kombo sistem rekognisi imunitas.
Jika gagasan ini dapat terealisasi, maka di masa yang akan datang kita dapat menyiapkan diri secara lebih baik dalam menghadapi berbagai jenis patogen yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Kesehatan Masyarakat)