Pemerintah Didesak Tinjau Ulang Rencana Pemidanaan Penolak Vaksin Covid-19


Jakarta, PUBLIKASI –
Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR) meminta pemerintah pusat dan daerah meninjau ulang penerapan pidana terhadap mereka yang menolak disuntik vaksin Copid-19.

Hal itu menyusul dengan adanya ketentuan pidana dalam Pasal 30 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 termuat larangan orang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19 dengan ganjaran pidana denda paling besar Rp 5.000.000.

Rencana pemidanaan juga dikeluarkan pemerintah melalui pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Hiariej, beberapa waktu lalu.

“Ketentuan pemidanaan mengenai suatu perbuatan, khususnya yang berskala nasional, idealnya ditentukan dari pemerintah pusat yang bertugas menentukan arah politik pidana,” ujar Peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (11/1).

“Dengan kondisi ini, kurang tepat penentuan sebuah perbuatan dipidana atau tidak di pemerintah daerah,” katanya.

ICJR berpandangan, bahwa memang dimungkinkan pemerintah daerah dapat membuat perda yang berisi muatan ketentuan pidana. Namun, itu pun hanya dapat menyertakan hukuman maksimal pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.

Ketentuan pidana yang dapat diatur dalam perda lebih cenderung tindak pidana ringan dan hanya dapat memuat tindak pidana yang pada dasarnya berkaitkan dengan administrasi ataupun tata kelola yang khas dari pemerintah daerah.

Sedangkan perihal pemberian vaksin sebagaimana yang dijelaskan oleh Presiden adalah bagian dari respons nasional untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Menurut Maidina, pengaturan tentang ancaman pidana apabila menolak vaksin tidak dapat begitu saja bergantung pada kewenangan pemerintah daerah. Sebab, respons ini diberikan pada seluruh rakyat Indonesia tidak hanya dalam wilayah tertentu saja.

Menurutnya, larangan orang menolak vaksin merupakan sebuah tindak pidana yang membutuhkan syarat lain untuk dapat dikenakan.

“Singkatnya menolak vaksin tidak dapat begitu saja dipidana kecuali ada syarat tertentu. Misalnya, dalam hal ini adalah situasi pandemi yang darurat mensyaratkan semua orang divaksin untuk mencapai tujuan herd immunity,” katanya.

Pihaknya pun mengingatkan, bahwa penting untuk membangun sistem dan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Mengingat, pendekatan pidana selama ini terlihat masih belum konsisten karena kurangnya SDM penegakan hukum.

Karena penegakan hukum yang tidak konsisten ini, maka jangan sampai mengakibatkan ketidakpatuhan dari masyarakat itu sendiri.

“Jangan sampai narasi ancaman penghukuman ini justru membelokkan fokus awal respons pandemi ini, bahwa negara harus menjamin semaksimal mungkin kesehatan masyarakat warga negara,” ujar dia.

Selain Pemprov DKI Jakarta, pemerintah pusat sebelumnya berencana bakal menerapkan hukuman pidana paling lama 1 tahun penjara bagi mereka yang menolak divaksin Covid-19.

Wamenkumham Edward Hiariej mengatakan, ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 93 UU tersebut menyatakan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta. (Red)

Leave a Comment!