Bersama Menyudahi Kompleksitas Stunting, dari Pencegahan hingga Pentingnya Asupan Protein Hewani

Jakarta, PUBLIKASI – Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengajak seluruh komponen bangsa untuk bersinergi, bergerak, dan bekerja bersama-sama menurunkan angka stunting di Indonesia. Sebab, stunting dengan seluruh akar permasalahannya masih menjadi kendala utama yang harus segera dituntaskan untuk mencapai momentum Generasi Emas Indonesia 2045.

Ajakan tersebut disampaikan Presiden pada Puncak Peringatan ke-29 Hari Keluarga Nasional (Harganas) Tahun 2022 dengan tema “Ayo Cegah Stunting agar Keluarga Bebas Stunting” yang berlangsung di Lapangan Merdeka, Kota Medan, Sumatera Utara pada 7 Juli 2022 lalu.

“Generasi penerus bangsa Indonesia penting untuk dipersiapkan dengan baik karena mereka merupakan penentu wajah masa depan Indonesia,” tutur Jokowi dalam pidatonya.

Perhatian terhadap pentingnya penurunan angka stunting,  juga disampaikan kepala negara dalam “Pidato Presiden RI pada Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2023 Beserta Nota Keuangannya di Depan Rapat Paripurna DPR RI” yang berlangsung di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, 16 Agustus 2022.

Disebutkan, Belanja Negara dalam RAPBN 2023 direncanakan sebesar Rp3.041,7 triliun. Meliputi, belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.230,0 triliun serta Transfer ke Daerah Rp811,7 triliun. Anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp169,8 triliun, atau 5,6 persen dari belanja negara.

Anggaran kesehatan diantaranya akan diarahkan untuk melanjutkan penanganan percepatan penurunan stunting (di samping penanganan pandemi, reformasi sistem kesehatan, serta kesinambungan program JKN). Adapun percepatan penurunan stunting dilakukan melalui perluasan cakupan seluruh kota/kabupaten di Indonesia dengan penguatan sinergi di berbagai institusi.

Percepatan penurunan stunting menjadi program prioritas Presiden karena prevalensinya menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, sebesar 24,4 persen atau 5,33 juta bayi Balita. Angka ini di atas ambang batas yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yakni di bawah 20%.

Merujuk data itu, kepala negara menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024. Selanjutnya Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Perpres menetapkan Tim Percepatan Penurunan Stunting terdiri dari pengarah dan pelaksana. Wakil Presiden bertindak sebagai Ketua Pengarah, didampingi sejumlah menteri. Sedangkan Kepala Badan Kependudukan dan Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG. (K), ditunjuk menjadi Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting.

Strategi Menurunkan Stunting

Amanat Perpres No. 72 Tahun 2021, kemudian ditindaklanjuti dr. Hasto dengan menerbitkan Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) Tahun 2021-2024.

RAN-PASTI, digunakan sebagai acuan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi di antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, desa, dan pemangku kepentingan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.

Dalam RAN PASTI itu dijelaskan definisi  stunting, yakni “gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan”.

Sementara percepatan penurunan stunting merupakan setiap upaya yang mencakup intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui multisektor pusat, daerah, dan desa.

Adapun intervensi spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting. Sedangkan intervensi sensitif, kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya stunting.

Strategi percepatan penurunan stunting dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan prioritas RAN PASTI. Kegiatan prioritas ini, meliputi: penyediaan data keluarga berisiko stunting;  pendampingan keluarga berisiko stunting;  pendampingan semua calon pengantin  atau pasangan usia subur;  surveilans keluarga berisiko stunting; audit kasus stunting; perencanaan dan penganggaran; pengawasan dan pembinaan akuntabilitas penyelenggaraan kegiatan percepatan penurunan stunting;  pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

“Keluarga berisiko stunting adalah keluarga yang memiliki satu atau lebih faktor risiko stunting yang terdiri dari keluarga yang memiliki anak remaja putri atau calon pengantin, ibu hamil, anak usia 0-23 bulan, anak usia 24-59 bulan berasal dari keluarga miskin, pendidikan orang tua rendah, sanitasi lingkungan buruk, dan air minum tidak layak,” bunyi Pasal 1, ayat 11 Peraturan BKKBN No.12 Tahun 2021 tersebut.

Efektivitas Pencegahan

 BKKBN optimis  target menurunkan prevalensi stunting hingga 14% pada tahun 2024, bakal tercapai melalui kerja-kerja yang telah dan akan terus dilakukan bersama lintas sektor.

Program Manager Sekretariat BKKBN Lindawati Wibowo, mengatakan, pola atau intervensi spesifik dalam menurunkan prevalensi stunting tidak bisa instan atau dalam waktu singkat, tetapi perlu waktu yang panjang dan harus bertahap. Sebab, stunting adalah salah satu indikator untuk gizi kronik.

Dikatakan gizi kronik karena proses terjadinya berlangsung sangat lama sejak sebelum ibu hamil, saat ibu hamil, setelah bayi lahir hingga berumur dua tahun (masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan atau HPK) dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.

Di masa 1.000 PHK ini, stunting masih bisa diatasi untuk tidak menjadi stunting. Antara lain dilakukan dengan pemberian berupa asupan gizi seimbang dalam waktu yang panjang yang bersifat koreksi atau memperbaiki.

Namun untuk anak yang mengalami gizi kronis dan sering sakit hingga berlanjut sampai usia dua tahun ke atas, membuat anak akan mengalami tingkat kerusakan permanen. Secara kasat mata terlihat pendek–meski tidak semua yang pendek adalah stunting– dan yang tidak terlihat mengalami gangguan pertumbuhan otak dan organ tubuh. Ini yang lebih ditakutkan Lindawati, karena hampir tidak bisa dikoreksi.

“Tidak serta merta ketika ketemu anak stuntunting lalu diberi asupan gizi selama satu-dua bulan, setelah itu persoalan selesai. Tidak bisa. Kita hanya bisa memperbaiki atau koreksi untuk anak di bawah usia dua tahun. Inilah yang dikatakan kesempatan melakukan koreksi, dan akan jauh lebih sulit untuk menangani anak stunting di atas dua tahun,” tutur Lindawati kepada Abdullah Karim S dari koranpublikasi.com,di Gedung BKKBN, Halim, Jakarta Timur pada 6 September 2022.

Perbaikan gizi, termasuk didalamnya protein hewani untuk mencegah stunting, lanjutnya, hanya bisa dilakukan terhadap kelompok yang memiliki kesempatan atau window of opportunity, yakni periode singkat melakukan pencegahan bagi kelompok remaja perempuan, ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi sampai berumur dua tahun. Bila kesempatan singkat ini terabaikan, maka hilanglah kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup generasi yang akan datang.

Sebab, selain menghambat perkembangan dan kecerdasan, anak yang kekurangan gizi, nantinya pada masa remaja, dewasa hingga selanjutnya akan beresiko lebih tinggi menderita penyakit atau sering mengalami berbagai gangguan kesehatan.

Karena itu, ia menegaskan, persoalan intervensi yang utama dan efektif adalah dengan preventif (mencegah), baru kuratif (penyembuhan atau koreksi). Ketika preventif maksimal, maka upaya menurunkan prevalensi stunting akan jauh lebih berhasil karena tidak ada stunting baru atau penambahan.

Seandainya masih ditemukan ada tanda tanda akan muncul stunting pada window of opportunity, maka segera ditangani secara maksimal. Selain pemenuhan asupan gizi seimbang dan pemenuhan protein hewani,, juga harus diperhatikan lingkungan tempat tinggal, mulai dari ketersediaan sanitasi dan lingkungan yang baik

Selain gizi kronis, penyebab stunting lainnya adalah sakit atau infeksi yang sering berulang. Ini disebabkan kurangnya akses ibu dan anak ke fasilitas layanan kesehatan. Kemudian, pola hidup yang tidak bersih, seperti sanitasi yang buruk, kesulitan akses air bersih atau tinggal di tempat yang tidak bersih.

Meluruskan Pemahaman Stunting

Menurut Lindawati, salah satu problem utama dan sangat mendasar penyelesaian stunting itu disebabkan pemahaman umum atau sudut pandang yang salah. Bahwa stunting dianggap banyak pihak sebagai persoalan terkait kesehatan semata. Padahal, munculnya stunting dilatarbelakangi kompleksitas permasalahan yang menyakut banyak sektor.

“Terus terang, inilah yang terus menjadi kekhawatiran saya bahwa yang melatarbelakangi stunting ini belum sepenuhnya dijadikan banyak pihak sebagai dasar menyelesaikan stunting,” ujarnya.

Karena itu menurut dia, hal penting yang harus digencarkan adalah membumikan penjelasan akan pentingnya pemahaman latar belakang terjadinya stunting hingga ke level pemerintah daerah provinsi, kabupaten, kota, desa, dan pemangku kepentingan lainnya. Bahwa stunting bukan semata terkait kesehatan saja, tetapi bersentuhan juga dengan lingkungan bersih, sanitasi yang baik, diskriminasi sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, kultur, kebiasaan masyarakat, ketersediaan dan akses mendapatkan pangan.

Ia mencontohkan, akses mendapatkan pangan bergizi tidak hanya karena tingkat ekonomi yang rendah, tetapi ada juga faktor ketersediaan pangan secara berkelanjutan di suatu daerah.

“Seperti yang saya kunjungi di salah satu kepulauan yang terisolir, ada anak stunting meski tingkat ekonomi warganya rata rata tinggi. Inilah yang saya katakan tadi, bahwa harus dipahami ada juga keterkaitan stunting dengan keterisolasian, akses transportasi. Disinilah misalnya terlihat bahwa ada hubungan stunting dengan dinas perdagangan, dinas pekerjaan umum hingga dinas perhubungan, yakni untuk membuka akses barang masuk ke suatu daerah,” terang Lindawati.

Ada juga kaitannya dengan pengawasan dan pergaulan anak remaja. Di banyak daerah tidak sedikit kelahiran anak karena pernikahan dini yang tidak terencana. Anak lahir ketika kedua orang tuanya sendiri tidak siap atau sanggup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Ibu yang masih remaja tidak mendapat pemeriksaan kehamilan hingga kelahiran anak secara maksimal. Disamping karena karena faktor ekonomi yang rendah juga dipengaruhi rendahnya pola pengetahuan pengasuhan hingga menyembunyikan rasa malu.

Berdasarkan data yang dimiliki Lindawati, ada 500 dari 515 kabupaten/kota yang memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi. Faktor inilah salah satu yang akan melahirkan anak-anak stunting. Solusi mengatasi hal ini tidak bisa hanya memberikan uang untuk berobat atau menyediakan makanan bergizi–meski tetap dilakukan sebagai bagian dari intervensi.

Namun yang paling utama adalah keterlibatan pihak lain, bahwa dinas sosial juga berperan mengurangi stunting dengan memberikan para orang tua itu pelatihan untuk bisa menghasilkan pendapatan atau nafkah sendiri. Para pelaku UMKM untuk memfasilitasi permodalan.

Hal itulah menurut Lindawati, alasan sejumlah kementerian/lembaga dilibatkan dalam Perpres No. 72 Tahun 2021. Selain Ketua BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting, ada juga keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan Menteri Dalam Negeri.

Kemudian Menteri Kesehatan; Menteri Keuangan;Menteri Sosial; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Menteri Agama; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Menteri Sekretaris Negara; dan Kepala Staf Kepresidenan.

Apa yang tertuang dalam Perpres tersebut, tegas Lindawati, menunjukkan bahwa stunting bukan hanya tanggung jawab dinas kesehatan di level daerah atau Kementerian Kesehatan ditingkat pusat. Namun ada peran Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi UMKM, hingga Dinas Sosial dan dinas dinas lainnya di daerah atau keterlibatan kementerian lembaga di tingkat pusat. Sekaligus membuktikan kompleksitas akar permasalahannya.

“Bayangkan sekarang ini saja ada 17 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam Perpres Percepatan Penurunan Stunting. Belum lagi ada penambahan setelah Perpres ini terbit, seperti BRIN dan Badan Pangan Nasional. Ini membuktikan stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama,” tegas Lindawati.

Ia mengakui, untuk menyamakan persepsi itu, tidak mudah meski tetap bisa dilakukan. Khususnya untuk “memaksakan” pemerintah daerah, mulai dari provinsi, kabupaten/kota hingga desa, menjadikan penanganan stunting sebagai prioritas utama di daerah masing-masing.

Pasalnya, setiap pemerintah daerah dengan luas wilayah Indonesia yang memiliki perbedaan kondisi geografis, beragam ras, etnik kultur hingga desentralisasi daerah, juga memiliki pertimbangan sendiri akan kebutuhan utama warganya sesuai spesifik lokal dan local wisdom (kearifan lokal).

Belum lagi setiap kementerian/lembaga, mempunyai program kegiatan dan mekanisme pengawasan masing masing untuk memastikan program stunting berjalan hingga ke tingkat desa. Begitu juga program, kebijakan di level pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

Menyikapi kondisi demikian, BKKBN mendorong koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi di antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, desa, dan pemangku lainnya.

“Inilah yang kita lakukan, menguatkan koordinasi vertikal antara pusat dan daerah serta koordinasi horizontal. Kita ajak semua SDM yang ada di kementerian, lembaga untuk duduk bersama agar implementasi penanganan stunting menjadi sinkron dan dapat paket lengkap penanganan stunting hingga tingkat desa,” terangnya.

Setelah program kegiatan sudah sinkron, langkah selanjutnya menyiapkan SDM di daerah (Provinsi, kabupaten kota, kecamatan dan desa) agar bisa menerjemahkan dan mengimplementasikannya dengan baik. Karena itu dibentuklah Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS). TPPS ini lah menjadi forum berkumpulnya semua pihak terkait di setiap level untuk menangani stunting sesuai kondisi riil di daerah masing-masing.

TPPS tersebut sudah ada di 34 provinsi serta, di tingkat kabupaten/kota. Kemudian mencapai 93,3 persen di seluruh kecamatan, dan 95,2 persen di tingkat desa. Sementara program kerja BKKBN dalam intervensi stunting ini diantaranya  adalah Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT), melalui Tim Pendamping Kesehatan atau TPK.

BKKBN juga menyusun stranas pendekatan keluarga berupa pendamping keluarga yang berisiko stunting, pendamping sebelum nikah hingga hamil dan melahirkan, surveilans keluarga berisiko stunting dan audit kasus stunting. Terdapat 600.000 pendamping keluarga yang telah dilatih dan mulai bekerja melakukan pendampingan.

“Ketika penurunan angka stunting melalui intervensi spesifik dibarengi dengan menyelesaikan akar masalah (intervensi sensitif) yang sifatnya kegiatan preventif, otomatis akan tercapai negara yang bebas stunting,” tegas Lindawati.

Di sisi lain dalam menjalankan RAN PASTI, strategi yang dilakukan BKKBN dalam penurunan angka stunting, fokus pada 12 provinsi prioritas. Ke-12 provinsi prioritas terdiri dari 7 provinsi dengan prevalensi jumlah balita stunting tertinggi, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT) 37,8%, Sulawesi Barat (Sulbar) 33,8%, Aceh 33,2%, Nusa Tenggara Barat (NTB) 31,4%, Sulawesi Tenggara (Sulteng) 30,2%, Kalimantan Selatan (Kalsel) 30% dan Kalimantan Barat (Kalbar) 29,8%.

Kemudian ditambah lima provinsi dengan jumlah balita stunting terbanyak Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sumatera Utara. Pasalnya, 60% populasi stunting tinggal di daerah tersebut. Ketika 12 provinsi ini dapat ditangani dengan baik, maka sudah dapat menurunkan 70% angka stunting nasional.

Indonesia Emas 2045

Pelaksanaan percepatan penurunan stunting itu tidak lepas dari perhatian DPR RI. Salah satunya anggota Komisi IX DPR, Drs. H. Darul Siska. Menurutnya, “Generasi Indonesia Emas 2045” merupakan masa negara ini diisi oleh penerus yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi. Namun, generasi yang demikian tidak akan terwujud ketika stunting masih terjadi di Indonesia.

“Anak yang terpapar stunting dan tidak segera ditangani akan berdampak buruk ketika sudah dewasa. Anak tersebut tidak produktif seperti yang lainnya. Rendahnya produktivitas juga akan menghambat inovasi dan pemanfaatan potensi yang ada, sehingga upaya-upaya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang masyarakatnya sejahtera susah dicapai,” kata Darul Siska, kepada Abdullah Karim S dari koranpublikasi.com pada 1 September 2022.

Menurutnya, mengurangi hingga menghilangkan stunting di Indonesia menuju tahun 2045 hanyalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan selama ini. Fokus menciptakan generasi yang berkualitas dan sehat. Oleh karena generasi berkualitas yang sehat menjadi prakondisi yang wajib dimiliki oleh Indonesia jika ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Karena itu ia berharap, pada tahun 2045 sudah tidak ada stunting di Indonesia agar segenap komponen bangsa lebih fokus pada optimalisasi inovasi mengolah potensi yang ada. Sebab, negara-negara maju di dunia sudah tidak lagi membicarakan stunting. Mereka telah berfokus pada upaya inovasi dan mengoptimalkan potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Ia mencontohkan. Jepang berhasil menjadi negara yang maju dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia karena berhasil menurunkan angka prevalensi stunting dari 50% pada tahun 1948 menjadi 5,7% pada tahun 1986. Pada periode yang sama, turunnya angka stunting memberikan dampak positif, yakni meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya pendapatan perkapita.

“Hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua, jika ingin negara semakin sejahtera maka dibutuhkan generasi yang berkualitas yang tidak stunting,” tegasnya.

Di sisi lain, Darul Siska mengingatkan agar semua pihak memahami secara benar antara stunting (gagal tumbuh dan berkembang) dengan stunted (pendek). Dilihat secara fisik, stunting dan stunted memang sama-sama menghasilkan tubuh yang pendek. Namun kedua hal ini memiliki kondisi kesehatan yang berbeda.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak (the golden age of the baby). Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan yang menyebabkan pertumbuhan otak dan organ terganggu, sehingga meningkatkan risiko penyakit-penyakit ketika anak telah dewasa.

Pertumbuhan otak yang tidak maksimal berdampak buruk pada kemampuan anak dalam bertanggung jawab atas kehidupannya. Anak yang stunting akan kesulitan dalam perkembangan fisik dan kognitif.

Sedangkan stunted, bukan berarti tidak tumbuh atau tidak berkembang. Secara fisik lebih pendek daripada rata-rata standarisasi tinggi badan seusianya, namun kemampuan otak dan organ-organnya tidak bermasalah atau bisa dikatakan tetap sehat.

“Anak yang stunted memiliki risiko terpapar penyakit kronis yang lebih minim daripada anak yang stunting,” tuturnya.

Penguatan Sinergitas

Darul Siska menegaskan, ada beberapa upaya dalam menangani stunting. Antara lain, menguatkan sinergisitas antar stakeholder. Menangani stunting merupakan tanggung jawab bersama, tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja.

Pasalnya, penanganan stunting tidak hanya dilakukan dengan cara intervensi terhadap anak yang berpotensi atau telah dinyatakan stunting. Akan tetapi pendekatan penanganan stunting sifatnya multidimensi, mencakup kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.

Menurutnya, selama ini pendekatannya cenderung pada dimensi kesehatannya saja, seperti yang paling banyak terlihat adalah penanganan anak yang telah dinyatakan stunting. Padahal dimensi sosial juga harus diupayakan bagaimana memahamkan masyarakat terkait stunting dan harus mendorong tokoh-tokoh masyarakat dan keagamaan terkait dengan pentingnya pencegahan stunting.

Pada dimensi ekonomi, masyarakat harus didorong untuk menciptakan sumber-sumber penghasilan guna meningkatkan daya beli mereka agar dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Pada sisi politik juga penting karena pada penanganan stunting harus ada political will baik pusat maupun daerah bahwa stunting harus menjadi salah satu prioritas kebijakannya.

“Kebijakan selama ini lebih cenderung pada pembangunan fisik, bukan SDM,” terangnya.

Berbagai dimensi penanganan pendekatan stunting tersebut melibatkan berbagai stakeholder mulai dari pusat hingga ke tingkat pemerintahan terkecil, yaitu desa.

Langkah atau upaya mengurangi stunting lainnya adalah menyadarkan masyarakat terkait pola hidup sehat. Adanya Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) harus diperkuat di masyarakat. Pencegahan stunting dilakukan dengan cara promotive kepada masyarakat terkait dengan bahaya stunting dan sekaligus menjadi preventif terjadinya stunting.

Masyarakat harus sadar terhadap pentingnya kesehatan, seperti rajin atau rutin melakukan cek kesehatan, pola konsumsi makanan yang baik, rajin berolahraga, dan istirahat yang cukup.

“Ada sebuah contoh di dapil saya, seorang terpapar stunting karena faktor lingkungan keluarganya yang tidak sehat, seperti perilaku ayahnya yang lebih mementingkan membeli rokok daripada membelikan makanan yang bergizi bagi anaknya. Masyarakat masih banyak yang melihat jika untuk sehat adalah berobat ke fasilitas kesehatan jika sakit atau kuratif, bukan menjaga kesehatan atau mencegah supaya tidak sakit,” kata Darul Siska menyayangkan.

Langkah berikutnya, penguatan kelompok-kelompok masyarakat. Bahwa masyarakat harus memahami tentang pentingnya membentuk kelompok-kelompok kecil yang dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan sosialnya. Anak yang terpapar stunting tidak bisa diselesaikan oleh keluarganya sendiri, melainkan harus ada kerja sama dari masyarakat sekitar yang membentuk suatu sistem saling tolong menolong.

Dengan kondisi tersebut, ia berharap, masyarakat bisa bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapinya dengan cara berkelompok. Jika hanya mengandalkan anggaran pemerintah yang terbatas, kata Darul Siska, tentu sulit dan memakan waktu. Salah satu contohnya adalah menguatkan kembali Kampung Keluarga Berkualitas atau Kampung KB.

Langkah berikutnya adalah perbaikan fasilitas kesehatan (Faskes). Faskes yang memadai harus ada hingga tingkat desa.

“Bagaimana dapat menyadarkan pola hidup sehat jika fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan utama masyarakat baik dalam memperoleh informasi maupun penanganan medis tidak memadai,” Darul Siska mengingatkan.

Bagi Darul Siska, keberadaan Faskes yang tidak memadai masih harus menjadi catatan bagi pemerintah. Sebab, masih banyak Puskesmas yang lokasinya tidak terjangkau dan memiliki fasilitas yang minim. Begitu juga dengan penguatan Posyandu yang menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi dan penyehatan bagi masyarakat.

Dilain soal, Darul Siska menyatakan mengapresiasi kebijakan Pemerintah yang menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024.

“Terkait dengan target pemerintah, itu hanya dijadikan target sementara, karena kita harus berusaha sekuat tenaga mengejar target yang lebih tinggi misalkan ke angka yang mendekati 0%. Target ini dapat terwujud dengan berbagai upaya bersama mulai dari tingkat pusat hingga desa,” tegas Darul Siska optimis.

Ia berpendapat, peranan BKKBN dalam menangani stunting sangat penting dan strategis. Sebab, BKKBN memiliki jaringan hingga ke tingkat desa dengan didukung oleh kader-kadernya. Apabila peranan kader-kader dapat dioptimalkan tentu saja ada manfaat-manfaat yang didapatkan. Seperti data kependudukan dan kesehatan masyarakat yang real time, informasi tentang stunting dan penanganannya yang dekat dengan masyarakat, dan tindakan preventif dan intervensi yang dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat.

Namun, hingga saat ini masih banyak dibutuhkan perbaikan, terutama bagaimana cara pemberdayaan kader-kader jaringan BKKBN. Tentu saja di dalam pemberdayaan tersebut dibutuhkan dukungan operasional yang dapat menunjang.

“Mereka adalah orang-orang yang memiliki niat baik untuk membantu meningkatkan kualitas masyarakat namun mereka sendiri belum bisa dikatakan sejahtera, sehingga upaya yang dilakukan juga masih belum maksimal,” ujar Darul Siska.

Asupan Protein Hewani

Darul Siska mengatakan, asupan gizi seimbang, termasuk protein hewani bukan hanya dibutuhkan ketika ibu sudah mulai hamil, namun jauh sebelum itu. Calon ibu harus ada persiapan yang matang supaya proses kelahiran berjalan lancar dan pemenuhan gizi yang baik juga dibutuhkan agar janin bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

“Asupan gizi yang tepat dan lengkap menjadi hal yang sangat penting dalam masa kehamilan. Makanan yang dikonsumsi ibu hamil harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi pada setiap tahapan kehamilan, yang kebutuhan tiap tahapnya berbeda,” tuturnya.

Ia mengamini, gizi seimbang, termasuk protein hewani dapat mencegah stunting. Sebab, nutrisi adalah hal terpenting yang dibutuhkan ibu hamil. Untuk itu, para Ibu harus tahu pentingnya makanan sehat untuk ibu hamil, terutama makanan yang mengandung protein. Selain baik untuk memenuhi nutrisi bayi, protein merupakan makanan sehat untuk ibu hamil.

Manfaat penting protein untuk ibu hamil yang pertama adalah untuk pertumbuhan janin dan kesehatan. Termasuk  memperoleh zat besi. Faktanya, volume darah Ibu meningkat saat hamil. Protein dapat membantu menghasilkan sel darah merah yang dibutuhkan tersebut. Selain itu, protein juga digunakan untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh.

Berbagai jenis daging merupakan sumber protein hewani yang baik untuk kesehatan ibu dan janin. Kandungan protein dalam daging unggas ada banyak dan termasuk daging yang direkomendasikan untuk ibu dan janin.

Daging unggas yang direkomendasikan diantaranya: kalkun, ayam, dan bebek karena kandungan protein yang cukup disertai dengan lemak yang rendah. Selain unggas, lanjut Darul Siska, tentu saja daging domba, sapi, atau kambing.

Selain daging, protein hewani yang dapat dijadikan sebagai sumber pemenuhan gizi adalah telur. Saat ibu sedang hamil, disarankan agar makan telur 1 butir per hari dengan batas maksimal 2 butir. Di dalam satu butir telur terdapat tujuh gram kandungan protein yang bermanfaat dalam perkembangan syaraf otak janin, sumber energi ibu, dan mencegah inflamasi.

Menurutnya, sapi dan produk olahannya sangat disarankan oleh dokter, karena menjadi sumber protein. Ada pun olahan yang direkomendasikan untuk dikonsumsi ibu hamil adalah yoghurt dan keju. Selain susu sapi, susu kedelai pun disarankan menjadi sumber protein yang diperuntukkan bagi ibu hamil, konsumsi yang disarankan adalah sebanyak empat cangkir.

“Daging sapi dan daging ayam merupakan sumber protein yang masuk ke dalam makanan sehat dan bagus untuk ibu hamil. Selain itu, daging juga mengandung zat besi sebagai mineral penting yang digunakan oleh sel darah merah,” terangnya.

Ia menambahkan, sel darah merah berperan penting untuk mengantarkan oksigen ke semua sel dalam tubuh. Maka dari itu, wanita hamil membutuhkan lebih banyak zat besi karena volume darah mereka juga meningkat selama kehamilan, terlebih di tri-semester ketiga.

“Perlu diingat kembali bahwa mengonsumsi makanan tinggi garam, dapat meningkatkan risiko hipertensi dalam kehamilan,” terangnya.

Ia tidak menampik, persoalan stunting juga terkait dengan tingkat ekonomi (kemiskinan) keluarga. “Tentu saja terdapat hubungan antara kemiskinan dengan stunting, namun perlu diingat tidak semua keluarga miskin itu stunting begitu juga tidak semua keluarga yang perekonomiannya baik bebas stunting,” sebutnya.

Anak dari keluarga dengan tingkat perekonomian yang baik, juga bisa terkena stunting jika pola asuh dan pemberian makanannya tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Sementara stunting pada keluarga miskin, tentu saja disebabkan oleh daya belinya yang rendah sehingga tidak mampu memberi makanan yang bergizi dan memberikan perawatan kesehatan yang layak. Selain itu tempat tinggalnya cenderung memiliki sanitasi yang tidak sehat dan tidak higienis sehingga anak rawan terinfeksi penyakit.

Keluarga miskin juga kurang memiliki akses terhadap informasi-informasi tentang kesehatan anak sehingga tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana kebutuhan dan apa saja yang harus dilakukan sejak hamil hingga anak berusia 2 tahun.

Menurut Darul Siska, jalan keluar pemenuhan gizi terutama protein hewani bagi keluarga miskin dapat diperoleh dari makanan dengan harga terjangkau dan mudah didapatkan. Seperti telur dan ikan-ikanan.

Selain itu, kata dia, bisa juga melihat program BKKBN, yakni program intervensi langsung kepada keluarga miskin yang terpapar stunting. Intervensi ini bisa berupa dapur sehat yang dikelola bersama-sama untuk pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil dan bayi.

Atau bisa juga dengan cara orang tua asuh, yaitu mencari orang yang perekonomiannya lebih baik untuk membantu pemenuhan kebutuhan gizi anak yang terpapar stunting hingga usia dua tahun.

Partisipasi JAPFA

 Salah satu pihak swasta yang terus berkomitmen dan memberikan dukungan atas berbagai upaya pemerintah menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen di Indonesia pada tahun 2024, adalah PT JAPFA Comfeed Indonesia Tbk (Perseroan).

Komitmen dan dukungan yang diberikan perusahaan agrikultur penyedia terkemuka dan terpercaya di bidang produk pangan berprotein terjangkau di Indonesia ini,  antara lain melalui kegiatan JAPFA for Kids, Posyandu Berdaya, serta penyelenggaraan “Apresiasi Karya Jurnalistik Japfa (AKJJ) 2022”.

JAPFA for Kids merupakan program sosial unggulan untuk kesejahteraan anak-anak pedesaan di Indonesia. Ini merupakan inisiatif sosial terbesar dari perusahaan yang berfokus pada keseimbangan gizi dan kebersihan untuk anak-anak di pedesaan Indonesia usia 6 sampai 12. Japfa melatih anak-anak untuk memperhatikan kesehatan gizi serta kebersihan sehari-harinya, untuk mewujudkan perubahan sosial yang “berkelanjutan” dalam masyarakat.

Sejak 2008, Japfa  telah melangsungkan kampanye kesehatan dan program pendampingan yang diadaptasi secara lokal di lebih dari 630 sekolah dasar, menjangkau 21 di Indonesia. Upaya menciptakan generasi unggul ini telah menyasar ratusan ribu murid, ribuan guru, dan ratusan sekolah di seluruh Indonesia.

“Program kami berfokus pada edukasi gizi seimbang untuk meningkatkan prestasi dan menjaga kebersihan untuk mencegah timbulnya penyakit, terutama di masyarakat dengan keterbatasan akses kesehatan,” terang Direktur Corporate Affairs JAPFA Rachmat Indrajaya dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 14 Juni 2022

Sedangkan Posyandu Berdaya adalah program yang fokus terhadap pertumbuhan dan kesehatan ibu-balita agar terhindar dari stunting. Program ini telah dilakukan di 24 provinsi di Indonesia. Diantaranya, menyediakan alat penimbang berat badan dan pengukur tinggi serta melakukan edukasi pada posyandu-posyandu yang kebanyakan kaum ibu di daerah itu masih “cuek” terhadap kesehatan.

Sementara AKJJ dengan tema “Penuhi Asupan Protein Hewani, Sambut Generasi Bebas Stunting” merupakan apresiasi JAPFA kepada para jurnalis yang menyebarkan edukasi terkait stunting kepada masyarakat.

Melalui karya jurnalistik tersebut, kata Rachmat Indrajaya, semua pihak terkait mampu mengetahui titik permasalahan serta solusi penyelesaian stunting secara tepat sesuai dengan kondisi riil di Indonesia. Utamanya, sejak sebelum ibu memasuki masa kehamilan melalui perbaikan asupan gizi seimbang.

“Kegiatan AKJJ ini merupakan wujud komitmen kami dalam mendukung pencegahan stunting melalui upaya edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya gizi seimbang dan protein hewani kepada masyarakat melalui peran penting media,” kata Rachmat saat peluncuran AKJJ Tahun 2022 di Hotel Atlet Century, Jakarta.

Kegiatan JAPFA for Kids, Posyandu Berdaya, dan AKJJ 2022 tersebut merupakan komitmen JAPFA untuk tidak hanya fokus pada aspek ekonomi (profit) saja dalam Dalam menjalankan usahanya. Akan tetapi juga pada aspek lingkungan (planet) dan sosial (people) yang salah satu kegiatannya difokuskan dalam upaya pencegahan stunting.

Lebih lanjut ia menambahkan bahwa perusahaannya tengah menyiapkan konsep pemberdayaan masyarakat agar mandiri dalam menyediakan protein hewani. Program ini rencananya akan menjadi bentuk tanggung jawab sosial JAPFA dalam meningkatkan asupan makanan kaya protein bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada di daerah-daerah dengan kasus stunting tinggi.

Agar program itu bisa lebih mudah menjangkau masyarakat, JAPFA mengutamakan daerah-daerah di mana unit-unitnya berada. Antara lain, di pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan sebagainya.

Kesuksesan utama PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (Perseroan), dibangun atas dasar keyakinan dalam membina hubungan yang saling menguntungkan, berdasarkan kepercayaan dan integritas. Bersama seluruh pihak-pihak terkait, Perseroan selalu mengambil posisi proaktif dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan. Mottonya “Berkembang Menuju Kesejahteraan Bersama”.

abdullah karim s

Leave a Comment!