“Jika pemerintahan baru tidak melakukan reformasi regulasi dan kebijakan secara signifikan, maka Indonesia akan gagal mencapai net zero emission pada 2060.”
Jakarta, PUBLIKASI – Di tengah sejumlah regulasi dan kebijakan yang dinilai bertolak belakang—setidaknya melemahkan— dengan upaya transisi energi, Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai kesepakatan global yang tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC), yakni 32% atau 358 juta ton CO2 dengan usaha sendiri, dan sebesar 41% (446 juta ton CO2) dengan bantuan dunia internasional pada tahun 2030.
Diantaranya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan sebaliknya meningkatkan bauran energi yang lebih bersih dan berkelanjutan dengan menurunkan persentase bauran energi batu bara. Namun hingga menjelang berakhirnya dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2024 ini, realisasi bauran energi nasional 2023 masih di bawah target.
Merujuk data Dewan Energi Nasional (DEN) yang dirilis pada Januari 2024 lalu, energi fosil masih dominan dalam pasokan energi nasional yang mencapai 86,92% pada 2023. Persentase bauran energi tertinggi berada di sektor Batu Bara (40,46%), Minyak Bumi (30,18%), dan Gas Bumi (16,28%), sementara Energi Baru Terbarukan atau EBT baru 13,09%.
Persentase bauran energi Batu Bara 2023 memang menurun menjadi 40,46% dari tahun sebelumnya, 42,38%. Di sisi lain, persentase EBT pun meningkat 0,79% sehingga menjadi 13,09% pada tahun 2023. Akan tetapi realisasi capaian Energi Baru Terbarukan ini masih jauh dibawah target yang ditetapkan, yakni 17,87%.
DEN menyebut, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan realisasi bauran energi nasional 2023 masih di bawah target. Antara lain: peningkatan harga komoditas energi, seperti Minyak Mentah, Gas Alam, dan Batu Bara yang menyebabkan subsidi energi semakin besar. Faktor lainnya terkait kendala teknis dalam pembangunan pembangkit listrik EBT, dan kendala pembiayaan pembangunan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan.
Padahal sesuai komitmen ENDC atau Dokumen Komitmen Kontribusi Aksi Iklim, Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan nasional sebesar 19,49% pada 2024. Bahkan optimis mampu mencapai 23% di 2025, dan 31% pada 2050 hingga akhirnya mencapai net-zero emission atau “emisi nol bersih” paling lambat 2060.
Sayangnya, dalam dokumen Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN)—yang sudah disetujui Menteri ESDM dan Komisi VII DPR pada 6 September 2014 lalu—target bauran energi terbarukan diturunkan, dari 23% menjadi antara 17 hingga 19% pada 2025.
Aturan yang akan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN tersebut selanjutnya diproses oleh Menteri ESDM selaku Ketua Harian DEN, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
RPP KEN itu menurut Laporan Yayasan Indonesia Cerah (CERAH) yang diakses melalui cerah.or.id pada 4 Oktober 2024, bisa menjadi sinyalemen implementasi transisi energi sebagaimana diharapkan pemberi dana—yakni IPG (International Partners Group) yang diketuai Jepang dan AS, serta negara anggotanya: Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia dan Inggris—berpotensi tidak dapat terealisasi.
Termasuk regulasi lainnya yang dinilai masih “melanggengkan” penggunaan energi fosil untuk pembangkit listrik. Misalnya terkait terminologi “energi baru” dan “energi terbarukan” yang bertolak belakang tetapi menjadi satu istilah EBT (Energi Baru Terbarukan), merujuk pada energi bersih.
Sebab “energi baru” mencakup energi nuklir dan produk turunan bahan bakar fosil, seperti batu bara tercairkan dan batu bara tergaskan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.
Energi baru juga merujuk pada penggunaan teknologi pada pembangkit, sekalipun berasal dari energi tidak terbarukan, seperti co-firing dan teknologi penangkapan karbon (CCUS/CCS) yang akan digunakan di industri migas maupun ke PLTU.
Teknologi co-firing melegitimasi perpanjangan usia energi fosil karena dianggap dapat mengurangi atau memindahkan emisinya ke bawah tanah. Tetapi penggunaan teknologi hanya berlaku pada emisi yang dihasilkan di sektor hilir. Sementara emisi yang dihasilkan di sektor hulu mulai dari penambangan hingga pengangkutan tidak diakomodasi.
Mengkhawatirkannya lagi, terminologi itu “otomatis” diadopsi dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah. Diantaranya saat penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) serta dokumen RPP KEN. Sementara, keduanya merupakan dokumen strategis yang menjadi rujukan berbagai peta jalan energi, sekaligus penentu keberhasilan transisi energi di Indonesia.
Dikatakan strategis karena, utamanya RPP KEN, mengatur segala aspek energi nasional, mulai dari bauran, pemanfaatan sumber terbarukan, hingga kebijakan impor energi.
“Jika pemerintahan baru tidak melakukan reformasi regulasi dan kebijakan secara signifikan, maka Indonesia akan gagal mencapai net zero emission pada 2060, sekalipun menggunakan dana JETP (pendanaan transisi energi dari skema Just Energy Transition Partnership yang berasal dari Uni Eropa IPG),” sebut Yayasan CERAH dalam laporan berjudul ‘Kupas Tuntas Kebijakan Transisi Energi Presiden Jokowi: Maju atau Mundur?’
Menurut catatan CERAH, setidaknya ada lima regulasi—selain RUU EBET dan RPP KEN—yang memiliki signifikansi terhadap perkembangan transisi energi di Indonesia.
Diantaranya, pemberlakuan Perpres No.79 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk Transportasi.
Perpres ini, disebut dapat menghambat agenda transisi energi, selama ekosistem kendaraan listrik masih bergantung pada energi fosil. Dasarnya, penyediaan infrastruktur pengisian energi untuk KBLBB dilaksanakan melalui penugasan kepada PLN, mengacu Perpres No 55/2019. Padahal di tahun yang sama, 90,47% pembangkit listrik PLN bersumber dari energi fosil.
Berikutnya Perpres No.112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Regulasi ini dianggap tidak tegas melarang pembangunan PLTU baru. Antara lain, mengizinkan pembangunan PLTU yang terdaftar dalam RUPTL 2021-2030, sebelum berlakunya Perpres No.112/2022.
Mengacu pada RUPTL 2021-2023, maka kapasitas PLTU akan bertambah 13,8 GW. Proyeksi emisi yang dihasilkan dari penambahan kapasitas ini sekitar 70 juta ton CO2 per tahun pada 2030.
“Artinya, penambahan kapasitas energi terbarukan, yang pemasangannya ditetapkan berdasarkan kuota, semakin sulit mendapat tempat dalam bauran energi nasional,” sebut CERAH dalam risalah yang ditulis Sartika Nur Shalati tersebut.
Selanjutnya ada UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Meski berulang kali UU Cipta Kerja direvisi hingga kini menjadi UU No.6/2023, tetapi substansi regulasi terkait transisi energi masih mengalami distraksi. Terlihat dari berbagai aturan yang justru membuka jalan bagi industri fosil dengan memberi insentif, menambah produksi, memperpanjang usia penggunaan energi fosil, serta melanggengkan penambahan kapasitas pembangkit listrik dari energi fosil.
Dalam penutup laporan tersebut, CERAH menyampaikan tiga rekomendasi. Pertama. Pondasi kebijakan energi di Indonesia dinilai tidak lagi relevan dengan konteks saat ini karena masih mengacu pada UU No.30/2007 tentang Energi. UU ini terbit, jauh sebelum Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016 sebagai bentuk komitmen iklim untuk menurunkan emisi.
Karena itu, CERAH mendesak Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran perlu mengubah dan menyesuaikan UU Energi untuk mendukung dan mempercepat transisi energi, sesuai konteks yang dihadapi saat ini.
Kedua. Penggunaan istilah energi baru yang masih mempromosikan energi fosil perlu dihilangkan dalam RUU EBET maupun RPP KEN.
Alasannya, dua aturan itu akan menjadi penentu dalam penyusunan dokumen strategis untuk mencapai transisi energi, seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rancangan Umum Energi Daerah (RUED), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Ketiga. Seluruh perencanaan terkait industri KBLBB dari hulu ke hilir, selain masih bergantung pada energi fosil, sasaran penerima insentifnya sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok elit dan kelas menengah atas.
Agar distribusi manfaatnya lebih merata dan menjangkau banyak kalangan, CERAH merekomendasikan aturan itu (Perpres No.79/2023), dievaluasi. Tak terkecuali melalui pengadaan transportasi publik, serta kembali pada tujuan awalnya, yakni mendukung arah transisi energi.
MEMPERCEPAT PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN
Risiko perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi masa depan peradaban manusia, tak terkecuali Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut, Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat rentan terdampak perubahan iklim. Data Bank Dunia 2021 menyebutkan Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan paparan tinggi risiko iklim, baik banjir maupun panas ekstrem.
Situasi itu semakin mengkhawatirkan karena 80% bencana alam di Indonesia terjadi akibat perubahan iklim. Indonesia semakin rentan karena 65% penduduknya bermukim di wilayah pesisir.
Di sisi lain, serupa negara berkembang, Indonesia juga salah satu negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca. Dari hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang diperoleh dari masing-masing kategori.
Sektor Energi menyumbang 715,95 Mton CO2e, Proses Industri dan Penggunaan Produk (59.15 Mton CO2e), Pertanian (89,20 Mton CO2e), Kehutanan dan Kebakaran Gambut (221,57 Mton CO2e), dan Limbah (221,57 Mton CO2e).
Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), kata Presiden Jokowi pada pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab, pada 1 Desember 2023, total tingkat emisi naik sebesar 6,9 %. Akan tetapi, lanjut Presiden, tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandingkan dengan BAU (Business as Usual) pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan sebesar 42%.
Mitigasi perubahan iklim semakin mendesak karena Indonesia sempat masuk penyumbang emisi terbesar ketujuh di dunia.
Mempercepat pengembangan energi terbarukan, disebut CERAH, sebagai salah satu cara paling efektif memangkas emisi dan solusi mengatasi polusi udara dan bencana cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim sendiri mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca yang terjadi secara alami. Namun dalam laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) yang dirilis Maret 2023 lalu, menyebut krisis iklim yang disebabkan oleh manusia (human-caused climate change) telah terjadi secara cepat. Terutama karena pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Termasuk deforestasi yang dapat melepaskan karbon dioksida, dan tempat pembuangan sampah sebagai sumber utama emisi metana. Tak terkecuali industri, transportasi, bangunan hingga pertanian sebagai penghasil emisi utama.
Pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi hingga pertanian (penggunaan pupuk), menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu. Akibatnya, Bumi sekarang 1,1°C lebih hangat daripada di akhir tahun 1800-an.
Bahkan Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyebut bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Angka tersebut, nyaris menyentuh batas aman bagi bumi untuk pemanasan global yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius.
Konsekuensi dari perubahan iklim sudah bisa terlihat dan dirasakan. Antara lain, mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, dan banjir di satu belahan dunia. Sementara di area lain ada kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hutan, badai dahsyat yang semakin mengkhawatirkan.
Kondisi kenaikan permukaan laut dan intrusi air asin yang meningkat ke titik yang mengharuskan seluruh komunitas harus pindah dari habitatnya. Sementara kekeringan yang berkepanjangan menempatkan orang pada risiko kelaparan.
Dikutip dari laman resmi PBB di Indonesia menyebut, emisi yang menyebabkan perubahan iklim bersumber dari seluruh bagian dunia. 100 negara dengan emisi terendah menghasilkan 3 persen dari total emisi. 10 negara dengan emisi terbesar menyumbang 68 persen.
Karena itu, setiap negara harus mengambil tindakan iklim, dan negara yang menciptakan lebih banyak masalah memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Banyak solusi perubahan iklim yang dapat memberikan manfaat ekonomi sekaligus meningkatkan kehidupan manusia dan melindungi lingkungan. Mulai dari perjanjian global untuk memandu kemajuan, seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dan Perjanjian Paris.
Tiga kategori aksi yang luas adalah: mengurangi emisi, beradaptasi dengan dampak iklim, dan mendanai penyesuaian yang diperlukan.
Mengalihkan sistem energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan seperti matahari atau angin akan mengurangi emisi yang mendorong perubahan iklim. Namun upaya ini harus dimulai dari sekarang. Perlu tindakan yang berani, cepat, dan luas dari setiap pemerintah dan pelaku bisnis. Tujuannya untuk menjaga pemanasan berada di bawah 1,5°C.
Untuk melestarikan iklim yang layak huni, emisi gas rumah kaca harus dikurangi menjadi nol bersih pada tahun 2050. Sekitar setengah dari pengurangan emisi ini harus dilakukan pada tahun 2030.
Dengan kata lain, produksi bahan bakar fosil harus turun sekitar 6 persen per tahun antara 2020 dan 2030. Abdullah Karim Siregar