9 Sikap PBNU Tentang UU Cipta Kerja, yang Pengesahannya Dinilai Terburu-buru

Jakarta, PUBLIKASI – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan sembilan sikap terkait pengesahan UU Cipta Kerja yang menuai kritikan dari berbagai pihak.

Pertama, NU menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lapangan pekerjaan tercipta dengan tersedianya kesempatan berusaha. Kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif.

“Iklim usaha yang baik membutuhkan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi. UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap),” ujar Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dalam keterangan pers, Jumat (9/10).

Di satu sisi, NU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terkesan terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri pada aspirasi publik. Menurutnya, untuk mengatur bidang yang sangat luar, yang mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.

“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk,” tegasnya.

Ketiga, lanjut Said, niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh diciderai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha. Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.

“NU menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya,” jelasnya.

Yang keempat, menurut Said, upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas.

NU bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama tiga tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.

“Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja,” tandasnya.

Kelima, upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam. Menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif royalti 0% sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi.

Dia menilai alih-alih mengubah isi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja memperpanjang dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha. Pemerintah menjamin investasi dan diskresi menteri tanpa batas bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis.

“Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang. Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat,” jelasnya.

Selanjutnya, Said menyampaikan upaya menarik investasi tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional.

“Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan,” paparnya.

Ketujuh kata Said, semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.

Sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh dinilainya dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi. Selain itu, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertfikasi halal.

Kedelapan, kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian. Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas. **

Leave a Comment!