Jakarta, PUBLIKASI – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar, Drs. H. Darul Siska, mengatakan, “Generasi Indonesia Emas 2045” merupakan masa negara ini diisi oleh generasi yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi.
Nantinya, generasi tersebut menjadi tulang punggung pembangunan Republik Indonesia yang selama ini masih lebih banyak bergantung pada pihak luar akibat ketidakmampuan SDM. Termasuk tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam memanfaatkan segala potensi sumber daya kekayaan yang dimiliki.
Generasi berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi, lanjut Darul Siska, dapat dilihat dari fisik yang sehat, kecerdasan, dan kepribadian yang unggul. Namun, generasi yang demikian tidak akan terwujud ketika stunting masih terjadi di Indonesia.
“Anak yang terpapar stunting dan tidak segera ditangani akan berdampak buruk ketika sudah dewasa. Anak tersebut tidak produktif seperti yang lainnya. Rendahnya produktivitas juga akan menghambat inovasi dan pemanfaatan potensi yang ada, sehingga upaya-upaya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang masyarakatnya sejahtera susah dicapai,” kata pria yang juga menjabat Anggota Dewan Kehormatan Partai Golkar ini, kepada Abdullah Karim S dari koranpublikasi.com, belum lama ini.
Menurutnya, mengurangi hingga menghilangkan stunting di Indonesia menuju tahun 2045 hanyalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan selama ini. Caranya, Indonesia harus berfokus menciptakan generasi yang berkualitas dan sehat. Sebab, generasi berkualitas yang sehat menjadi prakondisi yang wajib dimiliki oleh Indonesia jika ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Oleh karena itu ia berharap, pada tahun 2045 sudah tidak ada stunting di Indonesia agar segenap komponen bangsa lebih fokus pada optimalisasi inovasi mengolah potensi yang ada. Sebab, negara-negara maju di dunia sudah tidak lagi membicarakan stunting.
Mereka telah berfokus pada upaya inovasi dan mengoptimalkan potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
Anggota DPR yang juga pernah menjabat periode masa bakti tahun 1997 hingga 2009 ini mencontohkan. Jepang berhasil menjadi negara yang maju dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia karena berhasil menurunkan angka prevalensi stunting dari 50% pada tahun 1948 menjadi 5,7% pada tahun 1986. Pada periode yang sama, turunnya angka stunting memberikan dampak positif bagi Jepang, yakni meningkatnya angka harapan hidup dan meningkatnya pendapatan perkapita.
“Hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua, jika ingin negara semakin sejahtera maka dibutuhkan generasi yang berkualitas yang tidak stunting,” tegasnya.
Disisi lain, Darul Siska mengingatkan agar semua pihak memahami secara benar antara stunting (gagal tumbuh dan berkembang) dengan stunted (pendek). Dilihat secara fisik, stunting dan stunted memang sama-sama memperlihatkan tubuh yang pendek. Namun kedua hal ini memiliki kondisi kesehatan yang berbeda.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak (the golden age of the baby). Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan yang menyebabkan pertumbuhan otak dan organ terganggu, sehingga meningkatkan risiko penyakit-penyakit ketika anak telah dewasa.
Sementara pertumbuhan otak yang tidak maksimal berdampak buruk pada kemampuan anak dalam bertanggung jawab atas kehidupannya. Anak yang stunting akan kesulitan dalam perkembangan fisik dan kognitif.
Sedangkan stunted, bukan berarti tidak tumbuh atau tidak berkembang. Secara fisik lebih pendek daripada rata-rata standarisasi tinggi badan seusianya, namun kemampuan otak dan organ-organnya tidak bermasalah atau bisa dikatakan tetap sehat.
“Anak yang stunted memiliki risiko terpapar penyakit kronis yang lebih minim daripada anak yang stunting,” tutur Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar tahun 2011 ini.
Penyebab Stunting
Darul Siska mengungkapkan, penyebab stunting dapat dilihat dari sejumlah sisi. Pertama, Minimnya pemahaman dan pengetahuan kedua orang tua adalah pemicu stunting anak. Untuk menghindarinya, keduanya harus memahami pola pengasuhan yang baik. Termasuk di dalamnya tentang pemenuhan asupan gizi dan pola makan pada 1.000 hari pertama kehidupan. Pengetahuan orang tua ini menjadi penting karena harus menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. Tidak bisa hanya diserahkan kepada ibu saja.
“Stunting lebih berpotensi terjadi pada anak yang orang tuanya terpisah atau single parent karena tidak ada yang memperhatikan kebutuhan gizi anak dan tumbuh kembangnya. Di dalam hal ini kasih sayang dan peranan orang tua sangat signifikan pada 1.000 hari pertama kehidupan anak,” pesannya.
Berikutnya, kehamilan yang telat disadari. Hal ini berdampak pada janin yang tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang cukup, sehingga ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi selama janin dalam kandungan dan aktivitas-aktivitas yang dapat membahayakan janin.
Selain itu, terkait kondisi calon ibu atau ibu. Kondisi kesehatan dan gizi pada masa kehamilan dan proses persalinan memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko stunting. Kondisi ini bisa dilihat dari fisik ibu, seperti lingkar lengan yang belum ideal sesuai dengan indikator hamil sehat; jarak kehamilan yang terlalu dekat; masih remaja; mengalami anemia atau kekurangan darah, dan asupan nutrisi yang kurang saat kehamilan.
Ia menjelaskan, ada kondisi-kondisi ideal untuk hamil yang sehat dan aman bagi ibu dan anak. Idealnya kehamilan terjadi pada perempuan yang berusia 20-35 tahun. Ketika usianya di bawah 20 tahun seharusnya ditunda karena secara fisik dan mental belum siap. Begitu juga di atas 35 tahun, seharusnya mendapatkan pengawasan khusus karena dapat berisiko untuk kesehatan.
Selanjutnya, jika memang sudah punya anak, kehamilan selanjutnya tidak boleh terlalu rapat. Sebaiknya ada jarak dua tahun dengan anak selanjutnya karena anak harus benar-benar mendapatkan perawatan, asuhan, dan gizi yang baik sampai usia 2 tahun. Jarak yang terlalu pendek antar anak akan berdampak pada tidak terurusnya anak pertama karena fokus pengasuhan orang tua terpecah.
Berikutnya dari segi fisik ada lingkar lengan atas idealnya calon ibu berukuran lebih dari 23,5 cm, apabila ukurannya di bawah 18,5 cm maka harus menunda kehamilan dan berkonsultasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan berat badan harus ideal diusahakan tidak mengalami obesitas, dan jika obesitas harus dikonsultasikan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Calon ibu juga harus memiliki kondisi kesehatan yang baik, yaitu: kadar Hb yang cukup; tidak terjangkit penyakit menular (seperti HIV, sifilis, hepatitis, tuberculosis, malaria, cacingan dan lain sebagainya); tidak terjangkit penyakit tidak menular (seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung, autoimun, kanker, stroke, dan lain-lain).
Tidak kalah pentingnya, calon ibu memiliki kesehatan jiwa yang baik dan stabil; calon ibu jika memiliki penyakit genetic seperti talasemia dan hemofilia harus dikonsultasikan dengan fasilitas layanan kesehatan.
Penyebab lainnya adalah kondisi bayi dan balita. Gizi yang diperoleh sejak bayi lahir memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan risiko stunting. Kondisi-kondisi yang dapat berpotensi menyebabkan stunting seperti Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang tidak dilakukan; tidak diberikannya ASI eksklusif; dan tidak diberikan makanan pendamping ASI (MP ASI) sebagaimana mestinya.
Lalu, kondisi sosial, ekonomi dan sanitasi. Kondisi sosial keluarga sangat berkontribusi pada risiko stunting, seperti rendahnya tingkat pendidikan orang tua dapat berakibat pada pola asuh dan perilaku orang tua terhadap anak sejak dari janin. Selanjutnya, kondisi ekonomi keluarga menyebabkan pemenuhan gizi anak berisiko tidak terpenuhi.
Hal lainnya, sanitasi yang ada di rumah keluarga juga berpengaruh. Buruknya sanitasi memengaruhi kebersihan yang dapat mendorong terjadinya berbagai infeksi kepada anak yang dapat menghambat penyerapan gizi dan imunitas anak.
Sementara proses stunting, jelas Darul Siska, telah muncul sejak calon pengantin atau calon ibu. Karena itu, ia berpesan agar calon ibu memiliki kondisi kesehatan yang baik, seperti tidak anemia dan memiliki fisik yang sehat ketika akan hamil. Menurutnya, lebih baik menunda kehamilan hingga calon ibu benar-benar sehat secara fisik dan mental telah siap.
“Perlu ditekankan juga, jika mentalnya tidak siap tentu akan mengganggu pola hidup ketika hamil dan ketika merawat anak. Seorang calon ibu atau ibu yang stres berpotensi untuk melahirkan anak yang stunting,” jelas pria asal Sumatera Barat yang pernah menjabat Wakil Koordinator Bidang Kepartaian DPP Partai Golkar.
Proses munculnya stunting juga terjadi ketika anak telah lahir. Anak pada usia 0-24 bulan harus mendapatkan asupan gizi yang cukup, perawatan kesehatan yang memadai, hingga pola asuh yang baik. Hal ini untuk membentuk fisik yang sehat, otak yang cerdas, dan kepribadian yang baik.
Di Atas Ambang Batas
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting Indonesia berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta Balita, menurun dari tahun 2018 yang sebesar 30,8%. Namun angka ini masih terbilang tinggi dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yakni di bawah 20%.
Lima provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur 37,80%; Sulawesi Barat 33,80%; Aceh 33,20%; Nusa Tenggara Barat 31,40%; dan Sulawesi Tenggara 30,20%. Sedangkan untuk lima provinsi dengan prevalensi stunting terendah adalah Bali 10,90%; DKI Jakarta 16,80%; DI Yogyakarta 17,30%; Kepulauan Riau 17,60%; dan Lampung 18,50%.
“Sementara untuk Sumatera Barat yang merupakan daerah pemilihan saya sebesar 23,30%,” ujar Delegasi Pemuda Indonesia ke Australia di tahun 1992 ini.
Menurut Darul Siska, perlu juga melihat dan membandingkan angka stunting di Indonesia dengan negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara. Merujuk data ADB tahun 2020, di Kawasan Asia Tenggara Indonesia berada di peringkat kedua dengan prevalensi stunting sebesar 31,8% dan yang tertinggi adalah Timor Leste dengan 48,8%. Sementata prevalensi stunting terendah adalah Singapura dengan 2,8%, Thailand 12,3%, Brunei Darussalam 12,7%, dan Malaysia 20,9%.
“Berdasarkan dua data tersebut dapat dilihat bahwa koordinasi dan kerja sama penanganan stunting harus segera diperbaiki jika memang ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045,” tegas Darul Siska.
Di dalam kasus Indonesia, lanjutnya, masih banyak permasalahan dalam penanganan stunting, seperti masih rendahnya pemahaman masyarakat, dan tidak sinkronnya kebijakan antara pusat dengan daerah.
Terkait dengan kebijakan, di tingkat pusat sudah dilakukan beberapa perbaikan, seperti penguatan peran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun hal tersebut belum paralel dengan daerah-daerah yang masih menganggap permasalahan stunting bukan prioritas kebijakannya.
Menekan Stunting
Darul Siska menegaskan, ada beberapa upaya dalam menangani stunting. Antara lain, menguatkan sinergisitas antar stakeholder. Menangani stunting merupakan tanggung jawab bersama, tidak bisa dibebankan kepada satu stakeholder saja.
Pasalnya, penanganan stunting tidak hanya dilakukan dengan cara intervensi terhadap anak yang berpotensi atau telah dinyatakan stunting saja. Akan tetapi pendekatan penanganan stunting sifatnya multidimensi, yaitu secara kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Selama ini pendekatannya cenderung pada dimensi kesehatannya saja, seperti yang paling banyak terlihat adalah penanganan anak yang telah dinyatakan stunting. Padahal dimensi sosial juga harus diupayakan bagaimana memahamkan masyarakat terkait stunting dan harus mendorong tokoh-tokoh masyarakat dan keagamaan terkait dengan pentingnya pencegahan stunting.
Pada dimensi ekonomi, masyarakat harus didorong untuk menciptakan sumber-sumber penghasilan guna meningkatkan daya beli mereka agar dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Pada sisi politik juga penting karena pada penanganan stunting harus ada political will baik dari pusat maupun daerah bahwa stunting harus menjadi salah satu prioritas kebijakannya.
“Kebijakan selama ini lebih cenderung pada pembangunan fisik, bukan SDM,” terangnya.
Berbagai dimensi penanganan pendekatan stunting tersebut melibatkan berbagai stakeholder mulai dari pusat hingga ke tingkat pemerintahan terkecil, yaitu desa.
Sosialisasi pencegahan stunting tidak hanya bisa dibebankan kepada BKKBN saja, namun juga harus melibatkan kementerian/lembaga lain karena harus menggerakkan semua jaringan yang ada di masyarakat.
Langkah atau upaya mengurangi stunting lainnya adalah menyadarkan masyarakat terkait pola hidup sehat. Adanya Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) harus diperkuat di masyarakat. Pencegahan stunting dilakukan dengan cara promotive kepada masyarakat terkait dengan bahaya stunting dan sekaligus menjadi preventif terjadinya stunting.
Masyarakat harus sadar terhadap pentingnya kesehatan, seperti rajin atau rutin melakukan cek kesehatan, pola konsumsi makanan yang baik, rajin berolahraga, dan istirahat yang cukup.
“Ada sebuah contoh di dapil saya, seorang terpapar stunting karena faktor lingkungan keluarganya yang tidak sehat, seperti perilaku ayahnya yang lebih mementingkan membeli rokok daripada membelikan makanan yang bergizi bagi anaknya. Masyarakat masih banyak yang melihat jika untuk sehat adalah berobat ke fasilitas kesehatan jika sakit atau kuratif, bukan cenderung pada menjaga kesehatan,” kata Darul Siska menyayangkan.
Langkah berikutnya, penguatan kelompok-kelompok masyarakat. Bahwa masyarakat harus memahami tentang pentingnya membentuk kelompok-kelompok kecil yang dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan sosialnya. Anak yang terpapar stunting tidak bisa diselesaikan oleh keluarganya sendiri, melainkan harus ada kerja sama dari masyarakat sekitar yang membentuk suatu sistem saling tolong menolong.
Dengan kondisi tersebut, ia berharap, masyarakat bisa bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapinya dengan cara berkelompok. Jika hanya mengandalkan anggaran pemerintah yang terbatas, kata Darul Siska, tentu sulit dan memakan waktu. Salah satu contohnya adalah menguatkan kembali Kampung Keluarga Berkualitas atau Kampung KB.
Langkah berikutnya adalah perbaikan fasilitas kesehatan (Faskes). Faskes yang memadai harus ada hingga tingkat desa.
“Bagaimana dapat menyadarkan pola hidup sehat jika fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan utama masyarakat baik dalam memperoleh informasi maupun penanganan medis tidak memadai,” Darul Siska mengingatkan.
Bagi Darul Siska, keberadaan Faskes yang tidak memadai masih harus menjadi catatan bagi pemerintah. Sebab, masih banyak Puskesmas yang lokasinya tidak terjangkau dan memiliki fasilitas yang minim. Begitu juga dengan penguatan Posyandu yang menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi dan penyehatan bagi masyarakat. Mulai dari anak dalam kandungan, bawah dua tahun (baduta), bawah lima tahun (balita), remaja, hingga lanjut usia (lansia).
Target Lebih Tinggi
Merujuk data SSGBI tahun 2021 dan dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO (20%), Pemerintah Indonesia menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024.
“Terkait dengan target pemerintah, itu hanya dijadikan target sementara, karena kita harus berusaha sekuat tenaga mengejar target yang lebih tinggi misalkan ke angka yang mendekati 0%. Target ini dapat terwujud dengan berbagai upaya bersama mulai dari tingkat pusat hingga desa,” tegas Darul Siska optimis.
Ia berpendapat, peranan BKKBN dalam menangani stunting sangat penting dan strategis. Sebab, BKKBN memiliki jaringan hingga ke tingkat desa dengan didukung oleh kader-kadernya. Apabila peranan kader-kader dapat dioptimalkan tentu saja ada manfaat-manfaat yang didapatkan. Seperti data kependudukan dan kesehatan masyarakat yang real time, informasi tentang stunting dan penanganannya yang dekat dengan masyarakat, dan tindakan preventif dan intervensi yang dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat.
Namun, hingga saat ini masih banyak dibutuhkan perbaikan, terutama bagaimana cara pemberdayaan kader-kader jaringan BKKBN. Tentu saja di dalam pemberdayaan tersebut dibutuhkan dukungan operasional yang dapat menunjang.
Permasalahan selama ini adalah banyak keluhan dari kader-kader terkait operasional dan kesejahteraan.
“Mereka adalah orang-orang yang memiliki niat baik untuk membantu meningkatkan kualitas masyarakat namun mereka sendiri belum bisa dikatakan sejahtera, sehingga upaya yang dilakukan juga masih belum maksimal,” ujar Darul Siska.
Asupan Protein Hewani
Darul Siska mengatakan, asupan gizi seimbang bukan hanya dibutuhkan ketika ibu sudah mulai hamil, namun jauh sebelum itu. Calon ibu harus ada persiapan yang matang supaya proses kelahiran berjalan lancar dan pemenuhan gizi yang baik juga dibutuhkan agar janin bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
“Asupan gizi yang tepat dan lengkap menjadi hal yang sangat penting dalam masa kehamilan. Makanan yang dikonsumsi ibu hamil harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi pada setiap tahapan kehamilan, yang kebutuhan tiap tahapnya berbeda,” Peserta Seminar On Youth and Health di India (1989) ini mengingatkan.
Ia mengamini, gizi seimbang dan protein hewani dapat mencegah stunting. Sebab, nutrisi adalah hal terpenting yang dibutuhkan ibu hamil. Untuk itu, para Ibu harus tahu pentingnya makanan sehat untuk ibu hamil, terutama makanan yang mengandung protein. Selain baik untuk memenuhi nutrisi bayi, protein merupakan makanan sehat untuk ibu hamil.
Manfaat protein untuk ibu hamil yang pertama adalah penting untuk pertumbuhan janin dan kesehatan ibu selama menjalani masa kehamilan. Manfaat protein untuk ibu hamil yang kedua yakni, untuk memperoleh zat besi. Faktanya, volume darah Ibu meningkat saat hamil. Protein dapat membantu menghasilkan sel darah merah yang dibutuhkan tersebut. Selain itu, protein juga digunakan untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
Berbagai jenis daging merupakan sumber protein hewani yang baik untuk kesehatan ibu dan janin. Kandungan protein dalam daging unggas ada banyak dan termasuk daging yang direkomendasikan untuk ibu dan janin. Daging unggas yang direkomendasikan diantaranya: kalkun, ayam, dan bebek karena kandungan protein yang cukup disertai dengan lemak yang rendah.
Selain unggas, lanjut Darul Siska, tentu saja daging domba, sapi, atau kambing juga direkomendasikan sebagai sumber protein daging-dagingan bagi ibu hamil.
Selain daging sebagai sumber protein hewani, ada beberapa sumber protein hewani yang dapat dijadikan sebagai sumber pemenuhan gizi. Saat ibu sedang hamil, disarankan agar makan telur 1 butir per hari dengan batas maksimal 2 butir per hari.
Di dalam satu butir telur terdapat tujuh gram kandungan protein yang bermanfaat dalam perkembangan syaraf otak janin, sumber energi ibu, dan mencegah inflamasi.
Menurutnya, sapi dan produk olahannya sangat disarankan oleh dokter, karena menjadi sumber protein. Ada pun olahan yang direkomendasikan untuk dikonsumsi ibu hamil adalah yoghurt dan keju. Selain susu sapi, susu kedelai pun disarankan menjadi sumber protein yang diperuntukkan bagi ibu hamil, konsumsi yang disarankan adalah sebanyak empat cangkir.
Berikutnya, ikan laut juga sangat disarankan dokter sebagai sumber protein karena ikan ini mempunyai nutrisi yang positif untuk jantung, dan di dalamnya terdapat omega-3. Konsumsi ikan laut yang disarankan oleh dokter kira-kira sekitar 12 ons per minggu dan tidak boleh berlebihan.
Selayaknya makanan laut yang lainnya, kerang juga kaya akan protein. Kerang merupakan sumber protein yang lebih sehat bila dibandingkan dengan daging ayam atau sapi, karena memiliki kandungan lemak dan kalori yang lebih rendah dari kedua jenis daging itu. Di dalam 85 gram kerang, ada sebanyak 11 gram protein yang bisa didapatkan
*Daging sapi dan daging ayam merupakan sumber protein yang masuk ke dalam makanan sehat dan bagus untuk ibu hamil. Selain itu, daging juga mengandung zat besi sebagai mineral penting yang digunakan oleh sel darah merah,” terangnya.
SIa menambahkan, sel darah merah berperan penting untuk mengantarkan oksigen ke semua sel dalam tubuh. Maka dari itu, wanita hamil membutuhkan lebih banyak zat besi karena volume darah mereka juga meningkat selama kehamilan, terlebih di tri-semester ketiga.
Kandungan lemak di dalam daging dalam kadar yang cukup juga dibutuhkan oleh ibu hamil untuk persiapan persalinan, baik melahirkan normal, operasi caesar, dan menyusui. Sebaiknya, hindari daging asap karena cenderung tinggi kandungan garamnya.
“Perlu diingat kembali bahwa mengonsumsi makanan tinggi garam, dapat meningkatkan risiko hipertensi dalam kehamilan,” terangnya.
Ia tidak menampik, persoalan stunting juga terkait dengan tingkat ekonomi (kemiskinan) keluarga.
“Tentu saja terdapat hubungan antara kemiskinan dengan stunting, namun perlu diingat tidak semua keluarga miskin itu stunting begitu juga tidak semua keluarga yang perekonomiannya baik bebas stunting,” sebutnya.
Penyebab stunting karena pemenuhan gizi yang kurang dan pola asuh yang salah. Anak dari keluarga dengan perekonomian yang baik bisa stunting jika pola asuh dan pemberian makanannya tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Orang tua yang sibuk bekerja dari keluarga yang perekonomiannya baik, anaknya berisiko stunting karena pola asuh yang salah dari orang yang merawatnya dan bisa jadi diberikan makanan yang kurang bergizi.
Sementara stunting pada keluarga miskin, tentu saja disebabkan oleh daya belinya yang rendah sehingga tidak mampu memberi makanan yang bergizi dan memberikan perawatan kesehatan yang layak. Selain itu keluarga yang miskin tempat tinggalnya cenderung memiliki sanitasi yang tidak sehat dan tidak higienis sehingga anak rawan terinfeksi penyakit.
Keluarga miskin juga kurang memiliki akses terhadap informasi-informasi tentang kesehatan anak sehingga tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana kebutuhan dan apa saja yang harus dilakukan sejak hamil hingga anak berusia 2 tahun.
Program Intervensi Langsung
Menurut Darul Siska, jalan keluar pemenuhan gizi terutama protein hewani bagi keluarga miskin dapat diperoleh dari makanan dengan harga terjangkau dan mudah didapatkan. Seperti telur dan ikan-ikanan.
“Namun, kembali kepada jawaban saya sebelumnya, sebaiknya penguatan kelompok masyarakat juga dilakukan sehingga ketika ada anggotanya yang kekurangan atau kesulitan ekonomi dapat ditolong oleh anggota yang lainnya. Dengan demikian tercipta kondisi yang saling tolong menolong untuk bersama-sama mencari solusinya,” jelasnya.
Selain itu, pemenuhan protein hewani juga bisa didapatkan dari makanan tambahan ibu hamil atau makanan pendamping asi dalam bentuk biskuit yang ada di Puskesmas. Makanan tambahan dan makanan pendamping ini memiliki kandungan yang disesuaikan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) sehingga dapat membantu pemenuhan kebutuhan gizi untuk ibu hamil dan bayi.
Kata dia, bisa juga melihat program BKKBN, yakni program intervensi langsung kepada keluarga miskin yang terpapar stunting. Intervensi ini bisa berupa dapur sehat yang dikelola bersama-sama untuk pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil dan bayi.
Atau bisa juga dengan cara orang tua asuh, yaitu mencari orang yang perekonomiannya lebih baik untuk membantu pemenuhan kebutuhan gizi anak yang terpapar stunting hingga usia dua tahun.
Tak sekedar menyatakan pendapat, Darul Siska menemui seorang Balita penderita stunting, bernama Azzam di Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar) pada 6 Agustus 2022 lalu. Pertemuan terjadi usai Darul Siska bersama BKKBN Sumbar menggelar sosialisasi, advokasi dan kegiatan Komunikasi, Informasi Edukasi (KIE) penanganan stunting.
Dalam pertemuan itu, Darul Siska bahkan menyatakan dirinya sebagai orangtua asuh dari Azzam sembari memberikan bantuan uang tunai. Namun ia berharap, bantuan itu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu dan anak. Seperti telur, daging, ikan, sayur, buah, dan makanan bergizi lainnya. Bukan untuk keperluan lain.
Di kesempatan itu, Darul Siska juga meminta kepada wali nagari, camat, dinas, bupati dan pihak terkait lainnya agar serius menangani atau melakukan intervensi anak yang terkena stunting. Alasannya, semua elemen harus berperan dalam menurunkan angka stunting. Antara lain, memberikan edukasi pada pasangan keluarga yang baru menikah agar bayi mereka lahir normal dan cukup gizi.
“Bagi anak penderita stunting, dan terhadap keluarga berisiko stunting perlu diatasi bersama-sama. Kalau sudah mengetahui ada anak stunting, intervensi langsung, jangan ditunda-tunda sampai besok,” tegas Darul Siska.
Abdullah Karim S