Tim Pengacara Edy Mulyadi Bantah Dakwaan Jaksa

Jakarta, PUBLIKASI – Dalam sidang lanjutan wartawan senior Forum News Network (FNN) dalam kasus “Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan, Tempat Jin Buang Anak,” di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (24/5/2022), Tim Pengacara Edy Mulyadi membantah seluruh surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bahkan, dakwaan yang dibacakan JPU pada Selasa 10 Mei 2022 dinilai prematur.

Agenda utama sidang adalah pembacaan nota keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan JPU. Nota keberatan setebal 52 halaman itu dibaca secara bergantian oleh tim pengacara Edy Mulyadi, diantaranya oleh Dr Herman Kadir SH, M. Hum, Dr Ahmad Yani, SH, MH, Duduk Purwantoro SH, MH dan Dr. Yusuf M. Said, SH, MH.

Menurut Tim pengacara, surat dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap karena itu surat dakwaan harus dibatalkan. Perbuatan Edy Mulyadi bukan termasuk tindak pidana, melainkan termasuk ranah pekerjaan pers.

Dalam konteks kebebasan berbicara, maka dalam kapasitasnya sebagai seorang wartawan, apa yang disampaikan Edy Mulyadi dilindungi konstitusi dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

Dalam UU Pers disebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Selain itu kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dijamin dan dilindungi Pasal 28 UUD1945. Hal itu merupakan hak konstitusional setiap orang tanpa terkecuali seorang wartawan seperti Edy Mulyadi yang bekerja di lembaga pers bernama FNN.

Tim pengacara juga menegaskan, Edy Mulyadi adalah wartatawan yang sudah beberapa kali pindah media, dan terakhir menjadi wartawan senior FNN. Ia juga menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jaya.

Selain itu, tim pengacara juga membantah FNN tidak terdaftar di Dewan Pers. Mereka memberikan bukti-bukti yang ada, termasuk akte notaris tentang badan hukum FNN, yaitu PT Forum Adil Mandiri.

Ketika membacakan dakwaannya, pengacara menyebutkan, FNN resmi perusahaan pers berbadan hukum. Oleh karena itu dakwaan jaksa yang menyebutkan FNN ilegal atau tidak berizin tidak benar. Sebab, sejak berlakunya UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, penerbitan pers tidak lagi memerlukan SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) – yang dikeluarkan Departemen Penerangan) dan SIT (Surat Izin Terbit) yang dikeluarkan Komando Keamanan dan Ketertiban (Ketertiban), di masa Orde Baru (Orba).

*Kemerdekaan pers*
Menurut Ahmad Yani, anggota tim pengacara EM, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, menyampaikan infomasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki sehingga kemerdekaan pers justru harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun dan bukan dikriminalisasi.

Adapun penggunaan Istilah “Jin Buang Anak” dalam forum tersebut adalah jenis gaya bahasa/majas perbandingan atau yang lebih dikenal sebagai gaya bahasa Litotes (lawan dari gaya bahasa Hiperbola) yaitu ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri untuk menarik perhatian pemirsa atau audien.

Sedangkan istilah ‘Jin Buang Anak’ sendiri merupakan istilah yang sudah popular sejak era tahun 1960 (dulu), yang mempunyai konotasi khususnya yang mengacu pada tempat-tempat yang jauh dan sepi. Sehingga jelas tidak ada unsur kesengajaan untuk menghina terhadap Ras, Suku maupun menimbulkan Ujaran Kebencian.

“Terlebih Terdakwa EM diundang sebagai nara sumber yang mana semua kata-kata atau kalimat yang secara spontan keluar bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh pembawa acara, ” jelas Ahmad Yani.

Tim pengacara Edy Mulyadi menyatakan bahwa dalam UUD 1945, dengan tegas Indonesia memberikan hak konstitusional kebebasan mengeluarkan pendapat kepada setiap Warga Negaranya.

Kebebasan mengeluarkan pendapat pada hakikatnya merupakan hak dasar manusia yang melekat yang tidak bisa dipisahkan. Maka kebebasan tersebut tidak bisa dilimpahkan, diambil atau diserahkan kepada orang lain.

Pengambil alihan kebebasan seperti itu adalah bentuk dari perbudakan yang sudah barang tentu bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan menentang praktik penjajahan atau perbudakan.

Oleh karena itu, Pasal 28 UUD 1945 memberikan jaminan kebebasan berbicara yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selanjutnya dipertegas kembali lewat perubahan kedua pada pasal 28E ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Lebih khusus lagi, kebebasan berbicara diatur didalam perubahan kedua pasal 28F yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Amanah konstitusi tersebut juga termuat dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimana secara tegas menjelaskan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pada pasal 4 ayat 1 tertulis bahwa “kebebasan pers merupakan hak asasi warga negara”. Artinya, tidak ada yang boleh menghalangi kegiatan pers, meskipun itu pemerintah.

Tidak hanya itu, dalam ayat 4 dijelaskan bahwa “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”. Tetapi Pers melayani Hak Jawab serta melayani Hak Koreksi sebagaimana tertulis didalam pasal 5 ayat 2 dan ayat 3. ***

Leave a Comment!