Menimbang Pasal Hukuman Mati di Kasus Ekspor Minyak Sawit CPO

Jakarta, PUBLIKASI – Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di tengah kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

Para tersangka dikenakan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana penjara seumur hidup dan hukuman mati.

Empat tersangka yang telah ditetapkan Kejaksaan Agung antara lain Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor.

Kemudian Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, Stanley MA dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, Picare Tagore Sitanggang.

Pakar hukum pidana memandang langkah Kejaksaan yang menerapkan Pasal kerugian negara dalam kasus ini sudah tepat.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menilai akan lebih tepat jika Kejaksaan menerapkan Pasal 3 UU Tipikor. Sebab, menurut dia, unsur-unsur yang termuat dalam Pasal tersebut telah terpenuhi dalam diri tersangka.

Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

“Menurut saya lebih tepat kalau ini dikenakan Pasal 3 karena dia dengan kedudukannya membuat kebijakan yang bertentangan dengan UU (penyalahgunaan wewenang),” ujar Chudry.

Menurut Chudry, keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal tersebut tidak terpenuhi di kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit ini.

Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

“Kalau misalnya mau dituntut hukuman mati, [korupsi] itu dilakukan dalam keadaan bencana. Ini kan bukan dalam keadaan bencana. Tindakan itu menyebabkan kelangkaan minyak di pasar, itu kan bukan bencana,” ucap Chudry.

Dalam UU Tipikor disebutkan, hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan saat terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. *Arya

Leave a Comment!