Dumai,PUBLIKASI– Praktisi Hukum Ranto Sibarani, SH meminta pihak yang berwenang dalam hal ini BPN, Kementerian Kehutanan, Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan Kantor Staf Presiden untuk mengusut tuntas mafia tanah yang selama ini merugikan negara dan merugikan masyarakat di areal tanah yang seharusnya menjadi kawasan industri atas nama PT. Nurinta Baganyasa (NB).
NB memperoleh kepemilikan tanah itu pada tahun 1997 sebagaimana Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 377/Kpts-II/1997 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan yang terletak di Kelompok Hutan Sungai Mampu – Sungai Teras, Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis (kini masuk wilayah Kota Dumai), Riau seluas 1048 Ha dan dikuatkan oleh surat Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.519/BPKH.XIX/PKH/9/2020 tertanggal 3 September 2020.
Ranto menyatakan, dalam SK Menhut 377 tersebut jelas tertulis dalam diktum Kesembilan bahwa apabila PT Nurinta Baganyasa tidak memanfaatkan kawasan hutan tersebut atau tidak menyelesaikan pengurusan HGU-nya dalam 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya SK tersebut, maka kawasan hutan tersebut kembali dalam penguasaan Departemen Kehutanan.
“Jadi jangan sampai mafia tanah mempermainkan hukum dengan mengelola kawasan tersebut dan mengorbankan masyarakat yang bertahan hidup. Masyarakat petani atau kelompok tani mengelola tanah hanya untuk bertahan hidup, hak hidup mereka dilindungi Undang-Undang, jangan sampai kelompok tani tersebut yang dikriminalisasi atas perebutan kawasan tersebut,” tegas Ranto.
Dia mengatakan hal itu menyorot kasus Salamuddin Purba yang saat ini ditahan di Polres Dumai dengan tuduhan ‘menggunakan surat palsu dan atau orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan menggunakan surat palsu’.
Salamuddin Purba adalah tokoh masyarakat dan wartawan senior di Dumai, yang bertindak selalu penerima kuasa dalam penyelesaian masalah tanah milik ahli waris kelompok Alm Sayang.
Ranto juga mengungkapkan, Salamuddin Purba tidak patut ditahan karena yang bersangkutan hanyalah penerima kuasa. Surat-surat yang disebut palsu tersebut adalah surat yang diserahkan pemberi kuasa pada saat memberikan kuasa, sehingga Salamuddin Purba tidak patut dikait-kaitkan dengan surat palsu tersebut.
“Penahanan terhadap Salamuddin Purba sangat berlebihan, apalagi yang bersangkutan Salamuddin Purba sudah berumur 70 tahun dan dalam kondisi sakit-sakitan,” ujarnya.
Menurut Ranto, pihak penegak hukum lebih baik mengusut tuntas siapa saja yang bermain di atas tanah 1048 Hektar tersebut. “Saya curiga banyak pihak atau perusahaan yang bermain di atas lahan yang izinnya sebenarnya milik NB. Namun karena NB tidak melanjutkan haknya tersebut, kemudian banyak pihak yang melakukan klaim atas tanah tersebut.
Ahli waris Kelompok SAYANG dan Kelompok Tani Tepian Penyembal Indah adalah kelompok yang sebenarnya mencoba bertahan hidup dengan menggarap tanah dalam kawasan 1048 Hektar tersebut. Mereka tidak ada apa-apanya dibanding dengan perusahaan-perusahaan besar tersebut.
“Anehnya, kenapa pula Salamuddin Purba dan Ali Sidik yang merupakan pendiri Kelompok Tani Tepian Penyembal Indah yang ditahan dengan dalih surat palsu?” ujar Ranto.
Ranto menegaskan, “Mabes Polri sebaiknya mengusut tuntas surat-surat atau dokumen milik perusahaan yang bersengketa dengan kelompok tani tersebut? Apakah dokumen mereka benar? Masyarakat telah memperlihatkan kepada saya bahwa salah satu perusahaan berinisial TPI menggunakan surat yang mana pihak perusahaan membeli tanah pada tahun 2012 dari seorang penggarap yang masih berusia 19 tahun.
Surat tersebut patut diperiksa juga kebenarannya. Karena pada saat itu tidak ada penggarap di kawasan tersebut, masih hutan dengan kayu-kayu besar pada saat itu. Masyarakat memperkirakan ada lebih dari 5 perusahaan besar yang bermain di atas lahan 1048 Hektar tersebut, itu persoalan utamanya, bukan pada Salamuddin Purba.”
Lebih lanjut, Ranto menambahkan, jika ada surat palsu yang dituduhkan kepada Salamuddin Purba, itu hanya dalih atau alasan untuk menutup-nutupi kegiatan pihak-pihak yang bermain di atas lahan itu.
“Karena itu, kami meminta kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian Kehutanan untuk memeriksa siapa mafia-mafia tanah yang bermain di atas lahan tersebut. Lagi pula, sebagai tokoh masyarakat, Salamuddin Purba termasuk orang yang memperjuangkan tanah untuk anggota kelompok tani sehingga yang bersangkutan harus dibebaskan. Jadi, jelas, Salamuddin Purba hanyalah korban permainan mafia tanah yang berebut tanah seluas 1048 Ha. Maka, kawasan tersebut seharusnya di bawah penguasan Kementerian Kehutanan, bukan milik perusahaan atau perorangan tanpa hak dari yang berwenang, ” tandas Ranto.(*Red)