Ankara, PUBLIKASI – Kompak memberikan dukungan terhadap tokoh aktivis, Osman Kavala. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengancam akan mengusir 10 duta besar termasuk dari Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis.
“Saya mengatakan kepada menteri luar negeri Turki bahwa kami tidak memiliki kemewahan untuk menampung mereka (dubes) di negara kami,” kata Erdogan dengan berapi-api kepada wartawan di Ankara pada Kamis (21/10).
Kavala merupakan filantropis sekaligus aktivis kelahiran Paris. Turki menahan pria 64 tahun itu sejak 2017 tanpa vonis hukuman. Ia telah menghadapi serangkaian tuduhan mulai dari protes anti-pemerintah 2013 hingga dugaan keterkaitan upaya kudeta militer yang gagal pada 2016 lalu.
Kritikus menganggap penahanan Kavala menjadi simbol intoleransi perbedaan pendapat rezim Erdogan.
Pada awal pekan ini, 10 duta besar di Ankara mengeluarkan pernyataan bersama, berisikan kritikan terhadap penahanan Kavala yang mereka anggap sebagai “bayang-bayang” Turki.
Dalam pernyataan bersama itu, AS, Jerman, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, dan Swedia menyerukan “penyelesaian yang adil dan cepat untuk kasus (Kavala)”.
“Apakah ini dalam batas Anda untuk mengajarkan pelajaran seperti itu ke Turki? Siapa Anda?” tegas Erdogan seperti dikutip AFP.
Meski tidak terlalu dikenal secara internasional, Kavala telah dinilai menjadi simbol bagi para pendukungnya di tengah tindakan keras rezim Erdogan merespons upaya kudeta gagal 2016.
Berbicara kepada AFP dari sel penjara pada pekan lalu, Kavala mengatakan dia merasa seperti alat yang dimanfaatkan Erdogan untuk membenarkan bahwa campur tangan asing di kalangan oposisi untuk mengancam pemerintahannya.
“Alasan sebenarnya di balik penahanan saya yang berkelanjutan adalah karena hal itu menjawab kebutuhan pemerintah untuk menghidupkan fiksi bahwa protes Gezi (2013) adalah hasil konspirasi asing,” kata Kavala.
“Karena saya dituduh menjadi bagian dari konspirasi yang diduga diorganisir oleh kekuatan asing, pembebasan saya akan melemahkan fiksi yang bersangkutan dan ini bukan sesuatu yang diinginkan pemerintah,” paparnya menambahkan.
Dewan Eropa, pengawas hak asasi manusia terkemuka di benua itu, telah mengeluarkan ultimatum terakhir kepada Turki untuk mematuhi perintah Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa 2019 dan membebaskan Kavala.
Jika Turki gagal melakukannya hingga tenggat waktu pertemuan berikutnya yakni 30 November-2 Desember, dewan yang berbasis di Strasbourg itu dapat menjatuhkan sanksi terhadap Ankara, salah satunya meluncurkan proses disipliner. *Arya