Jakarta, PUBLIKASI ‐ Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyinggung tanggung jawab pemerintah dalam kasus dua remaja bunuh bocah untuk jual organ ginjal di Makassar.
Ai menilai dua remaja tersangka dapat melakukan tindakan tersebut karena awalnya terinspirasi dari tayangan yang mengandung unsur kekerasan.
Ia pun menyoroti campur tangan pemerintah sebagai penyebab lolosnya tayangan mengandung kekerasan tanpa sensor itu.
Ai menyinggung soal pentingnya pengawasan digitalisasi berbasis pada pemangku kepentingan.
Ia menyebut penyelenggara perlindungan anak untuk memberikan dukungan optimal. Salah satu ruang lingkupnya adalah edukasi agar anak dapat membedakan konten baik dan buruk.
“Tetapi aspek yang luput dari pasar digital sendiri sehingga itu kemudian mudah diakses ini yang justru dipertanyakan sejauh mana Kominfo punya aspek pengawasan itu. Kami mengingatkan itu harus dimiliki perangkat itu. Persoalan perlindungan anak kan persoalan kita bersama, sehingga punya asas-asas atas perlindungan pada generasi di dalam ruang lingkup Kominfo,” kata Ai.
Selain pemerintah, Ai mengatakan pentingnya proses pengasuhan berbasis digital orang tua dalam memberikan literasi dan
pengawasanpada anak. Sebab, kebutuhan anak terhadap internet kini sudah tak lagi dapat dihindari.
Pemangku-pemangku kepentingan yang dimaksud Ai bukan hanya pemerintah. Tetapi ada pula peran serta masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru, dunia pendidikan, dan lain-lain.
Penggunaan internet terhadap anak, jelas Ai, penting untuk dibarengi dengan proteksi terhadap perlindungannya.
Ai menegaskan bahwa pihaknya bakal mengawal kasus ini. Tayangan kekerasan, bahkan dehumanisasi seperti kasus ini merupakan permasalahan hak dasar asasi manusia.
Menurut Ai, situs-situs bermuatan kekerasan seperti penawaran dan penjualan organ dapat merusak mental dan daya pikir anak.
“Adanya situs-situs penjualan organ tubuh sangat meruaak mental dan daya pikir, menginspirasi pikiran anak-anak. Ini yang kami sesalkan dari konteks jagat maya yang luput dari pengawasan. Kami berharap jni refleksi da lebraikanbatas situasi ini,” jelas dia.
Selain berharap cyberpol atau polisi siber mengungkap tuntas kasus ini, Ai juga berharap penanganan hukum terhadap dua tersangka dapat sesuai dengan aturan pidana anak. Hal itu mengingat kedua tersangka masih di bawah umur.
Dua remaja berinisial AD (17) dan MF (14) menculik dan membunuh bocah laki-laki FS (10) di Makassar. Mereka mengaku berencana menjual organ ginjal korban.
Kendati demikian, rencana tersebut gagal. Salah satunya karena AD mengaku tak mengetahui letak ginjal.
“Saya belum bongkar (jasad korban). Saya tidak tahu di mana jantung dan ginjal,” kata AD di Mapolrestabes Makassar, Selasa (10/1).
Orang yang mau ditemani bertransaksi organ, jelas AD, tidak tak bisa dikontak. AD mengklaim mengenal orang itu dari internet. AD dan MF kemudian akhirnya membuang jasad korban ke kolom jembatan di dekat waduk Nipah-nipah. *Arya