Akselerasi Net Zero Emission, Pertamina Terapkan Prinsip Keterjangkauan dan Kewajaran

Jakarta, PUBLIKASI – PT Pertamina (Persero) terus menguatkan tekad untuk mencapai target pengurangan Karbon Dioksida (CO2) hingga 11 juta ton pada 2030, serta mencapai net zero emission dan mengurangi 26 juta ton pada 2060, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran. Target ini dipatok untuk mendukung langkah Pemerintah mewujudkan Nationally Determined Contribution, disingkat NDC 2030 dan Net Zero Emission atau NZE 2060.

Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 29% dengan usaha sendiri, dan 41% dengan kemitraan global (Updated NDC Indonesia, 31,89% dengan usaha sendiri atau 43,20% yang tertuang dalam Enhanced NDC).

Komitmen pengendalian perubahan iklim global berbasis NDC Indonesia tersebut tercetus sejak Indonesia beserta 190 negara lain, mengadopsi “Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change” atau “Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim”, pada 12 Desember 2015 di Paris, Perancis.

Indonesia bersama masyarakat dunia, kemudian bersepakat untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C. Batas ini dikenal dengan sebutan Net Zero Emission atau nol emisi karbon. Selanjutnya, masyarakat internasional yang telah meratifikasi Perjanjian Paris wajib menambahkan NDC yang berisi target penurunan emisi hingga tahun 2030.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Minggu (6/11/2022), secara nasional, target penurunan emisi Indonesia pada tahun 2030 berdasarkan NDC adalah sebesar 834 juta ton CO2e atau 29% dari BAU (business as usual) pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2).

Untuk mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi net zero emission, pemerintah menerapkan lima prinsip utama. Mulai dari meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); pengurangan energi fosil; penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi; peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri; serta pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

Adapun sektor yang berperan dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca, yaitu energi, limbah, industrial process and production use (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Khusus di sektor energi, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 314 juta ton CO2e.

Pertamina sendiri telah didaulat Pemerintah sebagai leading sector dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola aset Negara di sektor energi khususnya minyak dan gas (Migas) ini pun sudah memiliki strategi, yaitu prinsip keterjangkauan dan kewajaran.

Prinsip itu diterjemahkan dalam dua pilar utama dan tiga enabler. Kedua pilar utama strategi Pertamina untuk mencapai NZE yaitu dekarbonisasi kegiatan usaha dan pengembangan bisnis hijau baru.

Adapun tiga enabler adalah: pertama, mengembangkan standar penghitungan karbon yang disetujui oleh peraturan nasional dan internasional, serta penerapan harga karbon internal Pertamina. Kedua, membangun organisasi yang akan mengawasi bisnis Pertamina berada di jalur yang benar untuk Net Zero Roadmap-nya. Ketiga, keterlibatan pemangku kepentingan untuk sepenuhnya mendukung target dan komitmen NZE nasional.

Upaya transisi energi dilakukan Pertamina dengan prinsip ketahanan energi, kewajaran, dan keterjangkauan dengan menyeimbangkan antara agenda perubahan iklim dengan keberlanjutan perusahaan.

“Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar penyelenggara net zero emisi di Tanah Air, dengan prinsip keterjangkauan dan kewajaran,” tutur Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha Pertamina Atep Salyadi Dariah Saputra dalam dialog bertajuk “Commitment on Net Zero Emission,” seperti dikutip koranpublikai.com dari siaran pers Pertamina, Sabtu (5/11/2022).

Disebutkan, dialog tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Road to G20: Konferensi Internasional BUMN: “Driving Sustainable and Inclusive Growth” yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, pada pertengahan Oktober 2022 lalu.

Terkait dekarbonisasi, Pertamina menargetkan pengurangan Karbon Dioksida (CO2) hingga 26 juta ton pada tahun 2060. Dekarbonisasi bisnis dilakukan melalui efisiensi energi, peningkatan kapasitas pembangkit listrik ramah lingkungan, pengurangan kerugian, elektrifikasi armada dan peralatan statik, penangkapan dan penyimpanan karbon (penggunaan sendiri) hingga penggunaan armada dengan bahan bakar rendah atau nol karbon.

Sedangkan pengembangan bisnis baru, diwujudkan melalui produksi energi baru terbarukan; pembangunan EV charging & swapping; produksi hidrogen biru/hijau untuk digunakan oleh manufaktur atau transportasi; pelaksanaan nature based solutions, produksi baterai dan kendaraan listrik; produksi biofuel serta menjalankan bisnis pasar karbon dan CCS/CCUS terintegrasi.

“Upaya menjalankan transisi energi oleh Pertamina ini sekaligus untuk memastikan ketahanan energi Indonesia,” tuturnya.

Sejalan dengan transisi energi, Pertamina juga berkomitmen untuk mengembangkan infrastruktur Energi Baru dan Terbarukan, yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan sebesar USD 30-40 miliar pada tahun 2060.

Aksi Nyata

Melalui berbagai inisiatif yang telah dan akan terus dijalankan Pertamina dalam mencapai target pengurangan emisi di 2030, sudah mulai menunjukkan hasil. Pada 2021, Pertamina telah berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 7,4 juta metrik ton karbon dioksida (MtCO2E) atau 29,09 persen dibandingkan baseline 2010.

Hasil tersebut diperoleh dari upaya-upaya efisiensi energi di lini bisnis Hulu dan pengolahan yang memanfaatkan kembali panas yang dihasilkan dari limbah dan inisiatif lain dari aktivitas Geothermal. Kemudian pemanfaatan Flare Gas untuk penggunaan sendiri dan suplai gas bagi konsumen di sektor hulu dan pengolahan. Termasuk gasifikasi bahan bakar serta komersialisasi pelepasan CO2 kepada konsumen sektor hulu dan optimalisasi aktivitas Geothermal.

Rinciannya, penurunan emisi non-rutin dari proses yang digunakan untuk bahan bakar bakar sendiri dan untuk pasokan gas ke pelanggan sebesar 69,7 persen; penggunaan peralatan yang lebih efisien yang termasuk dalam Program Efisiensi Energi sebesar 13,9 persen; menggunakan energi rendah karbon yang menghasilkan 16,2 persen, dan kegiatan lainnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Utama dan CEO Pertamina Nicke Widyawati dalam panel diskusi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau Conference of the Parties 27 (COP27) The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang digelar di Sharm El Sheikh International Convention Centre (SHICC), Sharm El Sheikh, Republik Arab Mesir, pada Minggu, 6 November 2022.

Di forum yang diadakan sejak 6 hingga 18 November 2022 ini, Indonesia menegaskan kembali komitmen nyata dalam aksi perubahan iklim.

“Untuk mencapai aspirasi net zero emission, Pertamina telah mengembangkan strategi holistik yang disampaikan melalui dua pilar serta tiga enabler. Dua pilarnya, yaitu dekarbonisasi aktivitas bisnis dan pengembangan bisnis hijau baru. Sedangkan tiga enabler, yaitu mengembangkan standar akuntansi karbon yang telah disetujui oleh peraturan nasional dan internasional, penerapan harga karbon internal Pertamina, serta membangun organisasi yang akan mengawasi bisnis Pertamina di jalur yang benar sesuai dengan tujuan roadmap emisi nol dan keterikatan pemangku kepentingan dalam mendukung target dan komitmen net zero mission nasional,” kata Nicke dikutip dari siaran pers pertamina, Selasa, 8 November 2022.

Aspirasi tersebut, lanjut Nicke, didukung strategi jangka panjang perusahaan. CAPEX menciptakan Pertamina hingga 2060 bagi Inisiatif Bisnis Hijau diperkirakan sekitar US$40 miliar untuk biofuel, sumber energi terbarukan, CCS/CCUS, ekosistem baterai dan EV, bisnis hidrogen dan karbon.

Berikutnya, Pertamina juga mengakselerasi pengembangan bisnis hijau dari hulu ke hilir melalui seluruh rantai nilai yang terintegrasi.

“Pertamina berkomitmen untuk mendukung target pemerintah Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. Sebagai perusahaan energi, Pertamina memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pilar pilar bersih nol emisi di Indonesia, dengan prinsip keterjangkauan dan pengajaran,” pungkasannya.

Selain itu, Pertamina juga melibatkan mitra nasional dan global untuk menjajaki kemitraan dalam program dekarbonisasi dan mencapai pertumbuhan EBT.

“Kami melibatkan mitra nasional dan internasional untuk mengeksplorasi kemitraan dalam rangka mendukung program dekarbonisasi dan mempercepat pertumbuhan EBT,” ungkap Pjs. Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari, dalam kesempatan terpisah.

Langkah tersebut, merupakan bagian dari upaya Pertamina dalam menjalankan operasional bisnis yang ramah lingkungan; peduli dan bertanggung jawab secara sosial; serta tata kelola yang baik.

Dalam implementasinya, Pertamina melaksanakan aspek Environmental, Social and Governance (ESG) di seluruh lini bisnis perusahaan dari hulu, pengolahan hingga hilir. Aspek ESG Pertamina kemudian diterjemahkan dalam 10 fokus keberlanjutan dan 16 inisiatif yang sejalan dengan Program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals (SDGs).

“Di usia jelang 65 tahun, kami berkomitmen untuk menjalankan bisnis berkelanjutan karena didorong oleh kesadaran untuk tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka,” tegas Heppy dalam siaran pers yang dikutip koranpublikasi.com, Rabu (2/11/2022).

Di sektor lingkungan, Pertamina mendukung Pemerintah untuk mencapai NZE dengan mengembangkan peta jalan yang meliputi dua pilar dan tiga enabler yaitu pelaporan dan penghitungan karbon

Lalu di bidang Sosial, Pertamina mengembangkan Program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan pilar Pertamina Green untuk mendukung pelestarian lingkungan, salah satunya melalui program Biodiversity.

Melalui program keanekaragaman hayati Pertamina berhasil menanam lebih dari 4,1 juta pohon, konservasi 95 jenis tumbuhan. Sedangkan untuk fauna terdapat 261 jenis hewan dengan total lebih dari 800 ribu yang dikonservasi.

Selain itu, melakukan pembinaan kepada UMKM Binaan di tengah Pandemi Covid-19. Melakukan program affirmative recruitment bagi penyandang disabilitas sejak 2019. Membentuk komunitas pekerja perempuan “Srikandi” dengan empat program utama (Keberlanjutan, Pembangunan, Kesejahteraan, dan Kemitraan & Komunikasi).

Dalam hal tata kelola perusahaan, Pertamina telah memperoleh sertifikasi ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) untuk lingkup korporat. Bukti Pertamina sebagai Holding BUMN migas telah menerapkan sistem manajemen anti penyuapan di seluruh proses bisnisnya.

Dengan komitmen yang tinggi terhadap lingkungan; tanggung jawab sosial; serta tata kelola yang baik, mendorong rating ESG Pertamina semakin baik sejak Oktober 2022 dengan skor 22.1. Peringkat ini juga menempatkan Pertamina di rangking kedua secara global dalam sub-industri Integrated Oil & Gas. Posisi ini melonjak tinggi dari sebelumnya di urutan kedelapan dari 54 perusahaan yang sama di tahun 2021.

“Komitmen keberlanjutan yang kuat ini mengantarkan kami dapat bersaing dengan perusahaan energi global lainnya,” tegas Heppy.

Komitmen Global

Perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi merupakan ancaman yang semakin serius bagi umat manusia dan planet bumi. Untuk mengendalikan berlanjutnya perubahan iklim tersebut, diperlukan kerja sama masyarakat internasional secara lebih efektif.

Melalui Konferensi Para Pihak ke-21 United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), Indonesia beserta 190 negara lain telah mengadopsi Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, pada 12 Desember 2015 di Paris, Perancis.

Kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan persetujuan pada 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia bersama masyarakat dunia berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C. Batas ini kemudian dikenal dengan sebutan Net Zero Emission, diangkat NZE atau nol emisi karbon.

NZE bukan berarti tidak mengeluarkan emisi sama sekali atau nol. Namun, mengimbangi jumlah emisi yang dikeluarkan dengan jumlah emisi yang diserap dari atmosfer. Dengan kata lain, jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.

Energi menjadi salah satu sektor yang difokuskan dalam upaya mencapai program NZE. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan (aktivitas) manusia pada kurun waktu tertentu, atau lebih sering dikenal dengan jejak karbon.

Sebab, jejak karbon yang dihasilkan manusia akan berdampak negatif bagi kehidupan di bumi, seperti kekeringan, berkurangnya sumber air bersih, munculnya cuaca ekstrim, bencana alam hingga perubahan produksi rantai makanan.

Sebagai yang turut mengadopsi Paris Agreement, berbagai negara telah mengeluarkan regulasi-regulasi dalam hal penyediaan energi listrik yang disesuaikan dengan program NZE, termasuk Indonesia.

Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Dilansir dari salinan UU Nomor 16 Tahun 2016 yang diunggah di laman jdih.bumn.go.id, Selasa (7/11/2022), pada “Materi Pokok” dijelaskan mengenai tujuan substansi dalam aturan ini.

“Tujuan Persetujuan Paris adalah untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C,” bunyi Materi Pokok, Poin ke-1, butir (a) UU Nomor 16 Tahun 2016 tersebut.

Selanjutnya di poin ke-2 dikatakan: “Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, NDC Indonesia kiranya perlu ditetapkan secara berkala. Pada periode pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari
periode selanjutnya.”

Untuk terus mendukung komitmen tersebut, Indonesia baru-baru ini kembali mendeklarasikan target penurunan emisi terbaru. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20%.

Dikutip dari siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa isu krisis energi harus ditangani tanpa mengorbankan proses transisi energi.

“Transisi energi harus adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang. Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat dan target tersebut tidak boleh tergelincir,” tutur Menko Airlangga. Abdullah Karim Siregar

Leave a Comment!