Demi Hindari Kartel Minyak Goreng, KPPU Minta Pemerintah Batasi HGU Perusahaan Sawit

Jakarta, PUBLIKASI ‐ Pemerintah diminta oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk batasi pemberian izin hak guna usaha (HGU) lahan sawit kepada sejumlah perusahaan skala besar untuk menghindari potensi kartel di industri hilir seperti pengaturan harga minyak goreng.

Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan porsi lahan yang terlalu besar membuat para perusahaan sawit besar bisa menaikkan harga minyak goreng kemasan seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

“Sampai kapan pun, struktur industri minyak goreng tidak berubah jika hulunya tidak dibenahi. Kartel bisa dimulai dari hulunya, itu kenapa perlu ditata lagi industrinya,” ungkap Ukay saat konferensi pers online, Selasa (31/5).

“Perizinan agar tidak dikuasai oleh pihak tertentu saja. Jadi perlu dorongan politik yang besar, dukungan masyarakat, untuk benahi industri sawit dari hulu ke bawah,” lanjutnya.

Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring mencatat ada lima perusahaan besar penghasil minyak goreng di Indonesia yang memiliki luasan lahan sawit terbesar di dalam negeri pada 2019.

Bahkan, luasan lahan mereka melebihi izin usaha perkebunan kelapa sawit dari Kementerian Pertanian, yaitu batas maksimal 100 ribu hektare per perusahaan atau grup perusahaan.

“Hal ini berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha terkait penguasaan lahan dan kontrol di sisi hilir produk. Selain itu, ketimpangan semakin tinggi,” kata Marcellina pada kesempatan yang sama.

Catatan lain darinya, perusahaan swasta rata-rata menguasai lahan sawit seluas 4.247 ha pada 2019. Padahal, rata-rata penguasaan lahan sawit perusahaan negara hanya 3.320 ha dan rakyat 2,21 ha.

Tak hanya itu, catatan lain menyatakan bahwa jumlah perusahaan sawit swasta sebenarnya hanya 0,07 persen dari total pelaku sawit nasional. Sementara perusahaan negara 0,01 persen dan perkebunan rakyat 99,92 persen.

Tapi, penguasaan lahan oleh perusahaan swasta mencapai 54,42 persen. Sedangkan perusahaan negara hanya 4,23 persen dan perkebunan rakyat 41,35 persen.

Di sisi lain, Marcellina mempertanyakan sikap pemerintah yang kini tak lagi membatasi izin HGU. Ketentuan ini tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Padahal, sebelumnya pemerintah membatasi izin HGU.

Hal ini tertuang di UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

“Di UU Pokok Agraria dan UU Perkebunan sebenarnya diamanatkan ada pembatasan kepemilikan tanah, tapi di UU Cipta Kerja tidak ada pembatasan termasuk HGU,” pungkasnya. *Arya

Leave a Comment!