Indonesia Alami Kerugian Ekonomi Hingga Rp11,6 Triliun Akibat Wabah PMK

Jakarta, PUBLIKASI ‐ Semakin merebaknya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) membuat kerugian ekonomi Indonesia tembus Rp11,6 triliun.

Proyeksi kerugian tersebut belum memperhitungkan potensi kerugian dari peternak, industri dan masyarakat secara keseluruhan.

Hasil studi tersebut tercantum dalam Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri: Penyakit Mulut dan Kuku.

Kerugian ekonomi ini terjadi secara langsung pada sistem produksi peternakan, seperti akan terjadinya penurunan produksi susu, infertilitas, aborsi, kematian, penurunan produktivitas kerja dan penurunan berat badan.

Selain itu, kerugian akibat program pengendalian dan penanggulangan khususnya tindakan pemberantasan (depopulasi) serta hilangnya kesempatan ekspor dan pengaruh bagi industri pariwisata, juga akan timbul.

“Sementara, pengaruh sosial yang penting untuk diperhatikan adalah gangguan bagi aktivitas masyarakat pada saat pelaksanaan program pemberantasan penyakit,” tulis pedoman tersebut, Kamis (12/5).

Wabah PMK juga akan mempengaruhi tenaga kerja di bidang peternakan maupun bidang lain yang terpengaruh oleh wabah.

Tidak hanya itu, pedoman tersebut juga menyebut pada tingkat individu dan keluarga terutama di tingkat peternak kecil, kemungkinan pengaruh sosial yang terjadi adalah meningkatnya stress akibat kehilangan hewan ternak.

Lebih lanjut, pedoman tersebut menyebut pendanaan dan kompensasi merupakan hal utama dalam program pemberantasan PMK.

“Perlunya ketersediaan dana ini harus dimuat dalam peraturan perundangan, sehingga pada saat wabah terjadi, maka dana tersebut dapat segera diakses dan digunakan,” sambung pedoman.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 pasal 44 ayat 2 dan ayat 3 juncto UU Nomor 41 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2014 pasal 68 dan pasal 72, Pemerintah tidak memberikan kompensasi atas tindakan depopulasi hewan yang terjangkit penyakit.

Sebagai gantinya, kompensasi hanya diberikan kepada orang yang memiliki hewan sehat yang didepopulasi untuk mencegah penyebaran penyakit. Adapun kompensasi berasal dari APBN.

Proses pelaksanaan kompensasi sendiri memerlukan koordinasi dengan lembaga yang menangani wabah atau bencana, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan beberapa kementerian terkait. Dengan demikian, proses pemberian kompensasi memerlukan waktu.

“Sesuai PP Nomor 47 Tahun 2014 diatas, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kompensasi, persyaratan, dan tata cara pemberian kompensasi, dalam proses pengaturan melalui Peraturan Menteri Pertanian,” sambung pedoman.

Pedoman itu juga menuliskan bahwa perlu dipikirkan kemungkinan pembagian pendanaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta dalam program pemberantasan PMK.

Adapun pemberantasan tersebut dapat dilakukan melalui program yang berhasil dilakukan oleh negara lain, seperti Australia dengan “cost sharing agreement” antara pemerintah dengan swasta. *Arya

Leave a Comment!