Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil, Pastikan Negara Hadir untuk Wujudkan Kesejahteraan Masyarakat Tradisional di Wilayah Perairan
Jakarta, PUBLIKASI – Sejak zaman dahulu, sudah banyak masyarakat Indonesia yang hidup menganut budaya pesisir. Mengingat Indonesia merupakan negara maritim yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan, dan luas daratannya lebih kecil bila dibandingkan luas lautnya. Dengan demikian, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang hidupnya bergantung pada wilayah pesisir dan laut. Namun, tak jarang keadaan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil berkutat dalam masalah pembangunan, perputaran ekonomi, dan pengakuan Hak atas Tanah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Niat tersebut merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya pemerataan pembangunan serta peningkatan ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya masyarakat tradisional dan pesisir.
“Nasib mereka ini harus kita pikirkan,” ujar Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil saat memimpin rapat bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara daring, Jumat (08/04/2022).
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turut berupaya terhadap pembangunan Indonesia serta pemerataan ekonomi bagi masyarakat pesisir. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN bertugas melakukan penataan pertanahan untuk memberikan kepastian hukum melalui legalisasi aset maupun pemberian akses kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil, demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Sofyan A. Djalil menyampaikan, Kementerian ATR/BPN dan KKP harus sepakat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat tradisional yang tinggal di wilayah perairan tersebut.
“Masyarakat tradisional itu harus kita berikan hak. Masyarakat yang bergantung terhadap kehidupannya di laut, apakah nelayan dan lain-lain, umumnya mereka yang tinggal di pesisir,” tuturnya.
“Kesimpulan penting yang kita ingin bahas adalah tentang boleh tidaknya ATR/BPN memberikan hak, terutama HGB (Hak Guna Bangunan, red) karena Asas Pemisahan Horizontal terhadap tanah atas bangunan yang dimiliki oleh masyarakat. Di sini bisa dipisah antara kepentingan masyarakat tradisional di sana, yang seharusnya negara hadir,” tegas Sofyan A. Djalil.
Ia melanjutkan, Kementerian ATR/BPN ingin memastikan bahwa negara hadir bagi seluruh masyarakat Indonesia.
“Kalau untuk masyarakat tradisional, Kementerian ATR/BPN bersikap selama ini memang hak mereka dan kewajiban negara untuk memberikan kehadiran negara di sana,” tambah Menteri ATR/Kepala BPN.
Pertemuan daring antara Kementerian ATR/BPN dan KKP ini membahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah terkait perizinan pemberian Hak atas Tanah (HAT) di wilayah perairan. Pada Pasal 193 disebutkan bahwa Pulau Kecil dan Wilayah Perairan yang telah dimanfaatkan oleh pihak yang memenuhi syarat dapat diberikan Hak Pengelolaan dan/atau Hak atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun rapat ini turut dihadiri oleh Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Victor Gustaaf Manoppo. Menurutnya, pemberian Hak atas Tanah di Perairan Laut (HATPL) memerlukan kajian akademik yang komprehensif, mengingat sifat keberagaman penyebab dan cara penanganan persoalan pembangunan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, terutama terkait dengan dinamika hidro-oseanografi. (Red)