Jakarta, PUBLIKASI – Menentang hukuman mati di Singapura, ratusan orang menggelar aksi unjuk rasa, Minggu (3/4). Masa khawatir pemerintah Singapura melakukan gelombang hukuman gantung.
Pihak Singapura telah melakukan eksekusi mati seorang pengedar narkoba pekan lalu. Eksekusi tersebut merupakan eksekusi mati pertama di Singapura setelah sejak 2019 lalu. Seperti diketahui otoritas Singapura telah menolak banding beberapa terpidana mati lainnya.
Aksi unjuk rasa itu setidaknya diikuti oleh sekitar 400 orang di Speakers Corner, taman pusat kota. Lokasi itu merupakan satu-satunya tempat di Singapura yang bisa menggelar aksi unjuk rasa tanpa persetujuan polisi.
lAksi unjuk rasa merupakan hal yang tidak biasa di Singapura. Pemerintahan Singapura sering mendapat kritik karena membatasi kebebasan sipil.
Selain di ‘Speakers Corner’, tak ada satupun orang yang bisa melakukan demonstrasi tanpa izin polisi.
Seperti diketahui, seorang pengedar narkoba asal Singapura, Abdul Kahar Othman dieksekusi hukuman mati pada Rabu (30/3). Ia tetap digantung meski ada permohonan grasi dari PBB dan kelompok pembela HAM.
Singapura merupakan salah satu negara makmur namun konservatif. Mereka memiliki beberapa undang-undang narkoba yang paling keras di dunia, dan telah menghadapi seruan dari kelompok pembela HAM untuk meninggalkan hukuman mati.
Pihak berwenang bersikeras bahwa hukuman mati tetap menjadi salah satu pencegahan paling efektif terhadap peredaran narkoba dan membantu negara itu sebagai salah satu tempat teraman di Asia.
Terpidana yang selanjutnya akan dieksekusi mati adalah Nagaenthran K. Dharmalingam, seorang warga asal Malaysia yang cacat mental. Ia dihukum karena menjual belikan heroin, dan bandingnya telah ditolak pekan lalu.
Kasus ini menuai banyak kritik, termasuk dari Uni Eropa dan miliuner asal Inggris, Richard Benson.
Sementara itu, tiga orang lainnya yang juga dijatuhi hukuman mati telah ditolak upaya bandingnya oleh pengadilan pada awal Maret.
Bertuliskan ‘hukuman mati tidak membuat kita lebih aman’ serta ‘jangan membunuh atas nama kami’. Mereka turut meneriakkan slogan-slogan menentang hukuman mati.
“Hukuman mati adalah sistem brutal yang membuat kita semua kejam,” kata seorang aktivis lokal, Kirsten Han saat orasinya di depan publik.
“Alih-alih mendorong kita untuk mengatasi ketidaksetaraan dan sistem eksploitatif dan menindas yang membuat orang terpinggirkan dan tidak didukung, itu membuat kita menjadi versi terburuk dari kita sendiri,” kata dia menambahkan. *Arya