Jakarta, PUBLIKASI – Komnas Perempuan mengatakan setidaknya ada 49.729 laporan kekerasan seksual yang masuk sepanjang 2012 hingga 2021. Jumlah tersebut diyakini bukan angka sebenarnya mengingat tak sedikit korban yang memilih diam.
“Sebenarnya angkat tersebut tetap kita lihat sebagai puncak gunung es, bukan angka yang sebenarnya. Karena kita tahu, ketika kita melakukan survei juga ada 80,3% korban itu memilih diam,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah saat konferensi pers, Selasa (22/3).
Laporan kekerasan seksual paling banyak diterima pada tahun 2015 sebanyak 6.499 kasus, sedangkan angka terendah terjadi pada tahun 2020 dengan 2.945 kasus.
Jika dirinci setiap tahun, pada 2012 ada 3.933 kasus, di 2013 ada 5.629 kasus dan di 2014 ada 4.458 kasus.
Kemudian 6.499 kasus (tahun 2015), 5.785 kasus (tahun 2016), 5.636 kasus (tahun 2017), 5.435 kasus (tahun 2018), 4.749 kasus (tahun 2019), 2.945 kasus (tahun 2020), dan 4.660 kasus (tahun 2021).
Catatan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan yang paling dominan terjadi di perguruan tinggi.
“Dari kasus yang terjadi di lembaga pendidikan itu memang kekerasan seksual yang paling tinggi 87,91%,” kata dia.
Ia menjelaskan korban umumnya perempuan, peserta didik, dan masih anak-anak. Pelaku umumnya adalah laki-laki, guru, dosen, ustaz yang berusia dewasa.
Dampak pada korban jadi merasa tidak aman, bersalah, tidak percaya diri, mendapatkan label negatif, kesulitan membangun hubungan sosial, malu, takut, terisolasi, dan banyak lagi trauma-trauma yang dialami oleh korban kekerasan seksual.
Mengutip data yang diperoleh beberapa kampus dan lembaga, Alimatul mengatakan kekerasan seksual di perguruan tinggi sudah tergolong memprihatinkan. *Arya